Langsung ke konten utama

Tantangan Baru Pendidikan Toleransi di Indonesia

 


Pandemi telah mengubah cara kerja masyarakat seluruh dunia. Semua pihak harus dapat beradaptasi dengan situasi penuh resiko ini agar tetap sehat dan semua aktivitas kehidupan dapat dilanjutkan. Demikian halnya dalam berbagai aktivitas pendidikan, selain harus mencari strategi yang aman dan efektif, juga harus tetap kreatif sehingga proses belajar mengajar berlangsung tanpa beban dan berdampak mencerdaskan.   



Adaptasi
Perkumpulan Pappirus terus mengupayakan pengembangan pendidikan keagamaan yang menumbuhkan kultur belajar yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran menerima keragaman sebagai kodrat manusiawi dan mengajak para pendidik agar dapat membantu peserta didik mengembangkan sikap toleran serta mampu bekerjasama dengan orang yang berbeda latar belakang. Adaptasi dalam mengelola perkumpulan antara lain dengan migrasi kegiatan secara daring atau gabungan daring dan luring, sebagaimana dilakukan dalam Rapat Umum Anggota Perkumpulan ke-3, 25 April 2021 dan pertemuan Pengurus Periode baru dan para Pengawas setelahnya.

Pertemuan pengurus periode ke-3 pada 1 Mei 2021 di SMA PIRI 1 Yogyakarta ini dibuka dengan mengungkap kembali sejarah dan nilai-nilai yang diperjuangkan melalui komunitas para pendidik yang kemudian berubah menjadi badan hukum perkumpulan. Refleksi atas situasi pendidikan keagamaan diungkapkan oleh peserta, termasuk perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dengan berbagai tantangan yang dihadapi. Apabila di awal membentuk komunitas, ada tantangan yang ditemukan, sehingga mendorong usaha mengembangkan model pendidikan keagamaan interreligius untuk diterapkan di lembaga formal, saat ini tantangan tersebut telah berkembang makin nyata.  
 
Tantangan Baru
Ada beberapa tantangan yang dihadapi para guru, pertama makin banyak peserta didik yang berangkat dari keluarga yang tidak harmonis atau keluarga-keluarga yang orang tuanya sangat sibuk. Situasi ini tentu berpengaruh dalam proses tumbuh kembang anak. Pengandaian dan harapan bahwa keluarga dapat bekerja sama dengan sekolah untuk membangun karakter dan memberikan dukungan belajar pada anak menjadi makin kecil, ketauladanan yang diharapkan diberikan oleh orang tua di rumah sering tidak didapatkan. Menghadapi situasi ini guru-guru agama disamping harus mengelola pembelajaran secara kreatif, juga harus mendampingi peserta didik menghadapi situasi yang tidak mudah di usia remaja.

Tantangan kedua yang dihadapi guru yang telah memiliki kesadaran untuk mengembangkan toleransi adalah padatnya jadwal kegiatan sekolah, terutama di jenjang SMA yang peserta didik selain telah mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler juga banyak yang mengikuti les atau persiapan masuk perguruan tinggi. Guru umumnya juga memiliki beban administrasi yang menghabiskan waktu dan tenaga sehingga kesempatan untuk mengembangkan pembelajaran atau kegiatan-kegiatan yang berorientasi mengembangkan wawasan kebangsaan dan sikap yang toleran makin sempit.

Tantangan ketiga adalah masih berkembangnya paham keagamaan yang eksklusif, merasa diri paling hebat dan tidak membuka ruang keterbukaan pada adanya nilai-nilai kebaikan dalam berbagai agama. Padahal penghayatan keagaman yang terbuka sangat dibutuhkan saat ini agar umat beragama dapat hidup bersama dalam perbedaan yang ada dengan saling menghargai dan dapat bekerjasama menghadapi berbagai persoalan kemanusiaan. Untuk itu para agamawan perlu merumuskan teologi atau dasar pemikiran keagamaan yang dibutuhkan saat ini, untuk menjawab kebutuhan masyarakat majemuk. Selain itu dibutuhkan juga tanggapan dari para agamawan untuk menghadapi kegelisahan anak muda sekarang yang berujung pada ketidakpedulian pada agama, fenomena pindah agama atau menjadi agnostik. Dalam hal ini dibutuhkan kebijaksanaan untuk menjaga nilai-nilai perdamaian di tengah beragam perubahan.      

Tantangan terakhir yang makin dirasakan masyarakat umum dan dalam konteks hubungan antar kelompok dalam masyarakat menjadi penting diperhatikan adalah polarisasi atau keterbelahan dalam masyarakat yang makin kuat karena pilihan politik, perbedaan paham keagamaan atau sikap-sikap politik tertentu yang berpengaruh pada cara pandangan anggota masyarakat termasuk para pendidik. Perkumpulan ini sangat memberi perhatian bahwa tidak semua pendidik agama siap menghadapi banjir informasi yang terkadang mengandung informasi tidak benar, bias prasangka terhadap kelompok yang berbeda bahkan terang-terangan menyebar kebencian.

Menjalin Upaya Bersama
Peserta pertemuan ini mengungkapkan kecenderungan untuk memilih program memperkuat jalinan tri sentra dalam pendidikan. Artinya menghadirkan program yang mengupayakan sinergi antara lembaga pendidikan formal, keluarga dan komunitas, karena masing-masing tidak dapat berdiri sendiri. Meski fokus pada pendidikan formal, namun penting bagi Perkumpulan Pappirus untuk mengupayakan suasana yang mendukung. Suasana yang dimaksud adalah adanya hubungan sinergis antara keluarga-keluarga, komunitas dan lembaga pendidikan untuk mewujudkan nilai-nilai kebaikan dalam hidup bersama, toleransi, persaudaraan, menjunjung kebenaran dalam pengetahuan, perdamaian dan keadilan.
 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Krisis Empati dan Perundungan pada Anak di Sekolah

  Pengantar Peristiwa anak melakukan burunuh diri karena mengalami perundungan terjadi kembali di Badung Bali ( 4 September 2025,Detik.com). Sebelumnya serentetan peristiwa perundungan terjadi di berbagai tempat, tidak hanya meninggalkan luka batin bahkan kekerasan fisik yang ditimbulkan menyebabkan kematian. Perundungan diakui sebagai salah satu dosa pendiddikan selain selain intoleransi dan kekerasan seksual. Menanggapi hal ini Kemdikbudristek mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 46 Tahun 2023 adalah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Namun tindak kekerasan di satuan pendidikan hingga kini masih terjadi. Rustiadi dalam artikel di bawah ini membahas akar masalah berbagai bentuk kekerasan, yaitu krisis empati. Empati dan Pro-Eksistensi Setiap individu memiliki keunikan masing-masing yang membedakannya dari orang lain. Keberagaman ini mencakup aspek ...
Webinar Pappirus: Bagaimana Mengakhiri Ketidakjujuran Dalam Dunia Pendidikan Masa Kini? Apakah mungkin “mengakhiri ketidakjujuran di lembaga-lembaga pendidikan?”. Dalam bincang-bincang Pendidikan yang diselenggarakan Perkumpulan Pappirus 12 November 2024 lalu, Pak Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia dan Romo CB Mulyatno, PR, membahas tiga aspek yang memungkinkan seseorang dan komunitas bersikap tidak jujur. Pertama, adanya rasionalisasi atau cara berfikir yang menyediakan alasan bagi tindakan tidak jujur. Kedua, adanya kesempatan atau kondisi yang memungkinkan munculnya sikap tidak jujur. Ketiga, adanya tekanan yang membuat seseorang terpaksa bersikap tidak jujur. Seseorang yang memiliki otonomi dan memiliki kompas moral dalam memilih tindakan, akan senantiasa bertahan dengan gigih dan teguh pada nilai kebenaran dan bersikap jujur, tidak akan mencari-cari pembenaran atas sikap yang tidak jujur. Selalu ada kesadaran bahwa sikap tidak jujur adalah tindakan salah, berbahaya...