Pengantar
Peristiwa anak melakukan burunuh diri
karena mengalami perundungan terjadi kembali di Badung Bali ( 4 September 2025,Detik.com).
Sebelumnya serentetan peristiwa perundungan terjadi di berbagai tempat, tidak
hanya meninggalkan luka batin bahkan kekerasan fisik yang ditimbulkan
menyebabkan kematian. Perundungan diakui sebagai salah satu dosa
pendiddikan selain selain intoleransi dan kekerasan seksual. Menanggapi hal ini
Kemdikbudristek mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 46 Tahun 2023 adalah Peraturan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang mengatur tentang
pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Namun
tindak kekerasan di satuan pendidikan hingga kini masih terjadi.
Rustiadi dalam
artikel di bawah ini membahas akar masalah berbagai bentuk kekerasan, yaitu
krisis empati.
Empati
dan Pro-Eksistensi
Setiap individu memiliki keunikan
masing-masing yang membedakannya dari orang lain. Keberagaman ini mencakup aspek budaya, fisik,
etnis, agama, ras, serta kepercayaan. Jika tidak dikelola dengan baik,
perbedaan tersebut dapat memicu sikap intoleransi. Untuk mencegah hal tersebut,
manusia perlu mengembangkan sikap dan perilaku empati. Upaya menumbuhkan
kesadaran bahwa setiap individu memiliki pengalaman yang serupa merupakan
langkah penting dalam membentuk sikap empati dan pro-eksistensi terhadap orang
yang berbeda. Karakter pribadi yang empati ini dapat diperkuat melalui
interaksi langsung, baik antarindividu maupun antarkelompok. Melalui pertemuan
tersebut, diharapkan muncul komunikasi yang positif dan membuka peluang
terjadinya dialog. Hal tersebut akan menghilangkan prasangka yang mungkin
muncul di antara kelompok atau individu. Melalui proses dialog, setiap orang
dapat lebih memahami bahwa mereka memiliki pengalaman hidup yang serupa.
Individu atau kelompok yang
memiliki empati dan pro-eksistensi terhadap orang yang berbeda akan mampu
melihat kesamaan dalam pengalaman manusia sehingga lebih mudah bersikap
pro-eksistensi, yaitu sikap yang memandang keberadaan pihak yang berbeda adalah
berharga dan penting untuk saling mendukung menuju kebaikan bersama. Sikap ini
mencerminkan penghargaan serta penerimaan terhadap keberagaman dalam suatu
masyarakat. Sebagai peserta didik di negeri Indonesia, toleransi sangat
diperlukan untuk memahami dan menghargai kompleksitas perbedaan yang ada.
Nilai pro-eksistensi juga
terkandung dalam sila kedua, ketiga dan kelima Pancasila, yaitu
"Kemanusiaan yang adil dan beradab," sila ketiga yang berbunyi
“Persatuan Indonesia”, serta sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” yang menegaskan pentingnya menghormati dan memperlakukan sesama
dengan adil serta penuh rasa kemanusiaan.
Diskriminasi dan keadilan bagi anak
Diskriminasi menurut KBBI adalah
pembedaan perlakuan terhadap warga negara berdasarkan warna kulit, suku,
golongan, ekonomi, agama, dan sebagainya. Diskriminasi dapat bersifat langsung,
yaitu ketika seseorang secara terbuka dihambat atau diperlakukan secara tidak
adil berdasarkan karakteristik tertentu, atau bersifat tidak langsung, yaitu
ketika kebijakan atau praktik yang seharusnya netral secara tidak sengaja
merugikan kelompok tertentu. Contohnya adalah diskriminasi di ruang sekolah,
dalam struktur organisasi, biasanya jabatan ketua/pemimpin didominasi oleh
laki-laki. Contohnya lagi, biasanya kebutuhan khas perempuan tidak diakomodir
(seperti pembalut perempuan, vitamin penambah darah/zat besi, ruang ganti/ruang
istirahat khusus perempuan). Diskriminasi di sekolah juga bisa dilihat dari
minimnya fasilitas untuk penyandang disabilitas, misalnya ram kursi roda, papan
penunjuk ramah disabilitas, guiding block. Semua fasilitas yang ada di
sekolah semestinya harus memenuhi kriteria available, accessible,
acceptable, dan adaptable.
Dampak diskriminasi sangatlah
merugikan, baik secara fisik, psikologis dan sosial. Diskriminasi dapat
menyebabkan ketidaksetaraan dalam akses pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan
layanan publik lainnya. Hal ini juga dapat menciptakan ketegangan antarkelompok
dan merusak hubungan sosial di masyarakat.
Diskriminasi terhadap anak
merupakan permasalahan serius yang masih terjadi di banyak negara, termasuk
Indonesia. Diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, agama, suku, status ekonomi, atau
kondisi fisik. Diskriminasi ini dapat berdampak buruk pada perkembangan anak
dan dapat menghambat anak untuk mencapai potensi mereka yang sebenarnya.
Keadilan menurut KBBI Kemendikbud
adalah sikap tidak berat sebelah, berpihak pada yang benar dan tidak
sewenang-wenang. Keadilan bagi anak merupakan prinsip yang menekankan bahwa
setiap anak memiliki hak yang sama untuk diakui, dihormati, dipenuhi dan dilindungi.
Prinsip ini menuntut perlakuan yang adil dan setara bagi setiap anak, tanpa
memandang latar belakang atau status sosialnya. Dengan memastikan keadilan bagi
anak berarti memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anak untuk berkembang
secara optimal dan mencapai hak-haknya yang mendasar.
Selain itu, di dalam kelas
diskriminasi yang sering tidak disadari adalah memberikan label atau cap
tertentu untuk anak, misalnya sebutan “bodoh, pemalas, nakal, genit, bau,
kurang ajar, dekil, jorok”. Sebutan-sebutan tersebut biasanya diberikan baik
dari guru ke murid atau antar murid. Hal tersebut karena adanya relasi kuasa
antara keduanya.
Sekolah, keluarga dan masyarakat
perlu bekerja sama dalam mencegah dan mengatasi diskriminasi terhadap anak.
Sebagai langkah konkret, sekolah dapat melakukan kerjasama dengan
lembaga-lembaga terkait seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), psikolog,
Puskesmas, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta
Kepolisian.
Dengan menerapkan prinsip
keadilan bagi anak, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung
pertumbuhan dan perkembangan optimal bagi setiap anak. Hal ini akan membantu
anak-anak untuk mencapai potensi mereka yang sebenarnya dan menjadi individu
yang berkontribusi positif bagi masyarakat.
Sekolah ramah anak dalam penanganan kasus
perundungan
Sekolah ramah anak memiliki peran
penting dalam menangani kasus perundungan dengan pendekatan yang holistik,
mencakup pencegahan, penindakan, perlindungan, dan pemulihan (Permendikbud
Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan
Satuan Pendidikan). Pencegahan dilakukan dengan menciptakan lingkungan sekolah
yang sehat, aman dan nyaman bagi warga sekolah. Upaya ini dapat diwujudkan
melalui pendidikan karakter, sosialisasi anti-perundungan, serta pelatihan bagi
guru dan staf sekolah agar lebih peka terhadap tanda-tanda perundungan. Selain
itu, membangun komunikasi yang baik antara murid, guru, dan orang tua juga
menjadi langkah preventif yang efektif dalam mencegah perilaku perundungan di
lingkungan sekolah.
Sekolah dalam hal menangani
kekerasan (penindakan, perlindungan dan pemulihan) dapat bekerjasama dengan
lembaga terkait seperti dijelaskan di atas. Untuk itu sekolah perlu memiliki
tim khusus/Satuan Tugas (Satgas) anti kekerasan yang dilatih baik secara
perspektif maupun keterampilan teknis dalam mendampingi proses penanganan
kekerasan di sekolah. Ketika kasus perundungan terjadi, sekolah harus bertindak
tegas dengan melakukan penyelesaian dengan teliti, adil dan sesuai
prosedur.
Sekolah harus memberikan
perlindungan kepada korban perundungan agar mereka merasa aman dan mendapatkan
dukungan yang diperlukan, sekolah juga harus melakukan perlindungan terhadap
pelaku agar tidak terjadi amuk massa atau main hakim sendiri. Perlindungan
dapat berupa pendampingan psikologis, pencegahan intimidasi lanjutan, serta
upaya menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi korban dan pelaku. Guru
dan teman sebaya juga berperan dalam memberikan rasa aman kepada korban dan
pelaku dengan menunjukkan dukungan moral dan mencegah terulangnya peristiwa
serupa.
Pemulihan menjadi tahap akhir
yang tidak kalah penting dalam menangani kasus perundungan di sekolah ramah
anak. Baik korban maupun pelaku perlu mendapatkan pendampingan psikososial
untuk memulihkan kondisi mental dan emosional mereka. Korban harus dibantu agar
dapat kembali percaya diri dan merasa aman, sementara pelaku perlu dibina agar
memahami dampak negatif dari perbuatannya serta belajar untuk bersikap lebih
baik. Program pemulihan ini dapat dilakukan melalui konseling, bimbingan
kelompok, serta keterlibatan dalam kegiatan positif yang dapat meningkatkan
kesadaran sosial mereka. Dengan pendekatan komprehensif ini, sekolah dapat
menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman, nyaman, dan bebas dari
kekerasan.
Sumber :
Buku Suplemen Pendidikan Agama dan Budi Pekerti untuk Guru SMP dan Sederajat
Menjadi Manusia Indonesia yang Beradab melalui Pendidikan Agama Berwawasan Pancasila, Penerbit Pappirus
Foto oleh Mikhail Nilov:
https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-orang-duduk-anak-kecil-kursi-7929419/
Komentar
Posting Komentar