Langsung ke konten utama

Catatan dari Kajian Interreligius seri 2: Islam dan Kristen Berdampingan, Persamaan dan Perbedaan Narasi Teologi

Islam dan Kristen Berdampingan,
Persamaan dan Perbedaan Narasi Teologi
Narasumber Pro. DR. JB. Banawiratma dan Kyai Drs. Jadul Maula
Moderator Linda Bustan, M.Div
17 Maret 2017




Prof. Bono membuka materinya dengan mengungkapkan perjumpaan agama Kristiani dan Islam, paling kurang ada dua hal, yaitu pertama, tentang teologi pembebasan berupa pembelaan agama Kristiani dan Islam pada kalangan yang tertindas. Kedua, dalam hal wacana teologi tentang Firman Allah dan Monoteisme Trinitaris.
            Dalam Islam kepedulian pada kalangan tertindas termuat dalam banyak perintah dalam Al Quran untuk membela kamum miskin dan telantar. Surat Al Maun yang isinya sangat tegas menyatakan bahwa orang yang tidak memberi perhatian dan menolong kaum miskin dan anak yatim adalah orang-orang yang dinilai mendustakan agama. Prof.Bono menceritakan kisah Kyai Ahmad Dahlan yang setiap hari membaca surat ini. Ketika da seorang muridnya bertanya mengapa setiap hari membacanya? Kyai Ahmad Dahlan balik bertanya, “apakah kau sudah paham dengan surat ini?”. Si murid mengiyakan. Kyai Ahmad Dahlan melanjutkan, “Bila kamu sudah paham, pasti kamu tidak di sini, melainkan di sana, di rumah-rumah yang kumuh dan orang-orang terlantar”.
Konsisten dengan semangat membela kaum tertindas, Farid Esack ( 1997: 82-113) memberikan kriteria tentang bagaimana tafsir al Quran yang kons isten dengan pembelaan
kepada kalangan tertindas ini dalam konteks politik apartheid di Afrika. Prof. Bono mencatatkan kunci-kunci hermeneutik  dalam memahami al Quran yang dirumuskan Farid Esack sebagai berikut: (1). Taqwa; kesadaran akan kehadiran Allah yang terhubung dengan interaksi sosial dan kepedulian terhadap yang lain. (2). Tawhid, satunya Allah yang menunjuk pada Allah yang tak terbagi bagi kemanusiaan yang tak terbagi. (3). An Naas, rakyat yang akan memerintah/ menetukan. (4) Al Mustadz’afiina fi al ardl, penduduk yang tak berdaya dan termarginalisasikan adalah yang menentukan tindakan interpretatif atau menggunakan perspektif korban. (5). Al Adl bil qisth, keadilan yang berlandaskan pada tauhid. (6) Jihad, perjuangan dan gerakan (praksis) yang bertujuan untuk mentransformasikan diri diri sendiri maupun masyarakat.
Pada sisi Kristiani, Prof Bono menampilakan hasil penelitian lintas disiplin yang hasilnya ditulis oleh Hoorseley (2008: 227-228) yang menggambarkan Yesus sebagai berikut : “ Yesus dan para pengikutnya menanggapi kondisi kekaisaran Roma yang makin lama makin opresif, tidak dengan cara lain kecuali menangkarkan pembaharuan masyarakat Israel dalam komunitas-komunitas dusun. Gambaran standar tentang Yesus yang seringkali didasarkan pada Injil Markus dan Injil-injil lain adalah Yesus sebagai guru sendirian. Berbeda dengan itu, kami melihat gambar Yesus yang tertanam dalam hubungan-hubungan sosial yang berakar dalam tradisi masyarakat Israel…”
Menurut Prof. Bono, sebagaimana nabi Musa dan nabi Elia, Yesus muncul sebagai Nabi yang memimpin pembaharuan umat Israel yang hidup dalam memori kolektif rakyat tertindas. Seperti para nabi, ia berkonfrontasi dengan penguasa-penguasa yang opresif. Yesus memimpin para pengikutnya ke Yerusalem, tepat pada pesta Paskah, perayaan pembebasan Israel dari penguasa asing. Berbeda dengan kaum Zeloti, Yesus melawan kekerasan dengan jalan tanpa kekerasan. Studi komparatif dengan gerakan-gerakan rakyat beserta pemimpin-pemimpin mereka membuat kita mampu mengaskan dua hal, yakni: (1) resistensi melalui tuturan lisan memori kolektif (“hidden transcrispt” via “public transcript”) yang terpelihara secara internsif, dan (2) apa yang berkembang dari konteks ini yaitu konfrontasi tegas Yesus berhadapan dengan terhadap penguasa-penguasa Yerusalem dan penguasa Roma, yang mengakibatkan dia dibunuh sebagai pemimpin pemberontakan”.
Perjumpaan kedua agama Kristiani dan Islam adalah dalam pemikiran tentang adanya perantara yang menghubungkan Allah yang absolut/mutlak dengan manusia yang nisbi. Mediasi atau perantara Allah dan manusia ini disebut sebagai Firman Allah. Dalam tradisi Kristen, Firman Allah ada dalam diri Yesus, sedang dalam Islam Firman Allah berupa al Quran. Dalam tradisi Kristen, proses mediasi  Allah-manusia mendapatkan wujud Ibu Maria yang melahirkan Yesus. Dalam Islam proses mediasi ini bertujud Nabi Muhammad mendengar dan kemudian  mendiktekan ayat-ayat al Quran.



Prof. Bono menegaskan bahwa  “ Kitab Perjanjian baru tidak menggunakan kata ‘trinitas’. Yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Baru setelah Para Murid mengalami Yesus dibangkitkan oleh Allah dari kematian salib, mereka berbicara mengenai: 1) Allah sebagai Abba (Bapa penuh keibuan. 2) Firman Allah (logos) mengambil rupa daging dalam manusia Yesus, yang disebu ‘Anak Allah’. 3) Roh Allah sebagai kehadiran kuat kuasa-kuasa Allah yang imanen. Berkaitan dengan hal ini Prof. Bono menyarankan agar umat Kristiani kembali pada Al Kitab, yaitu ‘membaca Al Kitab tidak dengan kaca mata dogma’. 


Dalam mengkaji perjumpaan dengan Islam, Prof. Bono memaparkan dua fakta, pertama dari riset arkeologis dalam dunia Arab pra Islam memperlihatkan bahwa orang-orang Kristiani Arab menyapa Theos dengan kata Allah (The God). Pengertian mereka tentang Allah itu sering searti dengan pengertian Semit Tradisional, ketimbang dengan pengajaran Kristiani. Fakta kedua, dari Trimingham (dalam buku Christianity in Arab before the Time of Muhammad), bicara tentang ‘Trinitas Tradisional Semitik’. Meski pun suku-suku Arab yang berbeda menggunakan nama-nama yang berbeda, namun mereka memiliki pola dasar sama sebagai berikut:

Mengutip Tom Michel, bahwa pada jaman Nabi Muhammad, terdapat banyak orang Kristiani di daerah Arab –di padang gurun Siria, Sinai, Arab Timur, Arab Selatan (Najran). Di wilayah Hijaz hanya terdapat sedikit saja orang Kristiani. Pada waktu itu Mekah merupakan tempat kudus bagi agama-agama pra Islam yang menahan berkembangnya gagasan-gagasan Kristiani. Orang-orang Kristiani di Hijaz tampaknya tidak mengalami pendidikan yang baik mengenai iman Kristiani. Di sana tidak ada institusi atau semacam sekolah-sekolah untuk mempelajari iman Kristiani. Pada waktu itu al Kitab belum diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Oleh karena itu pemahaman umat Kristiani di sana tentang agama Kristiani di sana saat itu sangat sederhana. 
Dalam tradisi iman keturunan Abraham, Yahudi, Kristiani dan Islam, Allah tidak beristri (Tom Michel). Perjumpaan Kristiani dan Islam yang penting digaris bawahi untuk diperhatikan adalah; Sebagaimana dalam Al Quran, iman Kristiani menolak trinitas yang dimengerti sebagai; Allah, Maria dan Yesus. Ayat al Quran yang dimaksud adalah :1)Al Maidah ayat 115, “Wahai Isa Putra Marya, Engkaukah yang mengatakan pada orang-orang, ‘jadikanlah aku dan ibuku sebagai Tuhan selain Allah?’. Isa menjawab, “Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku menyatakan apa yang bukan hakku”.  2) Al Anam 101, “Dia pencipta langit dan bumi, bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak punya istri?”. Iman Kristiani menolak pengertian Yesus anak Allah biologis sebagaimana ditolak oleh Al Quran. Iman Kristiani memahami Yesus anak Allah secara simbolis, sebagai gelar, bukan dalam pengertian biologis.
Satu perbedaan antariman Kristiani terkait keterangan al Quran adalah dalam surat Annisa 157-158 adalah tentang ‘jalan salib’. Meski berbeda, Prof Bono menceritakan dialognya dengan Prof. Mahmud Ayub yang menyatakan bahwa apa yang ada dalam surat An Nisa ayat 157-158 bukan sebuah laporan sejarah, melainkan sebuah tanggapan terhadap ulama Yahudi yang sombong. Karena bila melihat sejarah, sudah lazim kala itu seorang pemberontak yang tertangkap penguasa akan dihukum dengan cara tersebut. Dapat dipahami bahwa apa yang disampaikan dalam al Quran adalah pembelaan bagi kemuliaan nabi Isa.
Saai ini masyarakat menghadapi realitas yang kompleks dalam persoalan sosial keagamaan. Umat beragama menghadapi persoalan terkait hubungan lembaga-lembaga agama dan kapitalisme yang makin sering menggunakan simbol simbol agama untuk memuluskan suatu kepentingan, yang sangat merugikan bagi keberlangsungan misi agama-agama bagi perdamaian dunia. Mengutip Safaatun el Mirzanah ( 2014, When Mecca Becomes like Las Vegas), “when religion become an empty shell, other substance will fill this emptiness. The power capitalism will distorted religion, and then religion in threatened of becoming meaningless body, without head and hart. Religious symbols are co-opted becoming a guard of sinfull agents. The God of religion is threated as a partner of business”.
Menutup presentasi pada kajian kali ini, Prof. Bono mengingatkan pembaharuan pemaknaan misi dan dakwah. Hendaknya misi dan dakwah sebagai gerakan komunal, --baik seiman maupun lintas iman, hendaknya dilakukan sebesar-besar bagi kemaslahatan manusia dalam alam semesta, melalui dialog apresiatif dan keterlibatan semua pihak sesuai dengan kharismanya. Misi dan dakwah hendaknya dilakukan bukan dengan rivalitas, melainkan solidaritas bersama.
Untuk itu Prof. Bono mengingatkan tentang makna dialog antaragama, dengan mengingat mistikus muslim dan Kristen; Ibnu Arabi ( 1165-1240) dan  Meister Eckhart (1260-1329), “Jika dialog dilakukan dengan otentik dan membawa transformasi yang otentik, maka perjumpaan dengan umat beragama lain akan memberi dampak pada pemahaman akan religiositas kita sendiri, dan termasuk dalam membaca teks-teks (keagamaan) kita yang kita miliki.
*****
Narasumber kedua, Kyai Muhammad Jadul Maula membuka pembahasan materi ini dengan bercerita kisah tentang para alim yang baik bermimpi melihat Imam al Ghazali yang sudah meninggal dan di bawa surga. Dalam mimpi itu terdengar suara bertanya pada Al Ghazali, “Hal apa yang membuatmu dapat bahagia saat ini di surga? Al Ghazali menjawab, karena saya seorang sufi yang beribadah kepadamu”. “Bukan”, kata suara itu. “Karena ilmu saya, fiqh, tasawuf dan lain-lain?”. “Bukan juga,” kata suara itu lagi. Kemudian suara itu melanjutkan, “Tahukan kamu, bahwa kamu dimasukkan dalam surga, karena suatu saat kamu sedang menulis, lalu ada seekor lalat yang meminum setetes air pada penamu dan kamu biarkan lalat itu meminum sampai puas, baru kamu lanjutkan menulismu. Jadi bukan karena imanmu, ibadahmu, melainkan karena kasihmu pada sesama mahluk”. Ini adalah ajaran hikmah dalam Islam, bahwa seseorang masuk surga adalah lebih karena rahmat dari Allah.
Kasih lebih tinggi dari pada iman yang didasari oleh doktrin. Takhallaqu biakhlaqillah: berahlaklah sebagaimana ahlak Tuhan-- Yang Maha Pengasih. Dalam konteks ini pula menurut Kyai Jadul, aspek ahlaklah yang memungkinkan seseorang memenuhi kriteria insan kamil (manusia sempurna) dalam tugas hidup sebagai khalifah Allah di muka bumi. Menurut Kyai Jadul Maula, tauhid trinitarian sebagaimana dikemukakan Prof Bono, bahwa Tuhan telah berfirman dan terdapat daya-daya Allah yang imanen, adalah sesuatu yang bersesuaian juga dengan keyakinan Islam. Istilah Ruh Kudus dalam al Quran adalah malaikat dan malaikat itu ada banyak. Terdapat cerita ketika kita berdoa hingga menangis itu karena malaikat ‘menyentuhnya’. Pertanyaan terhadap keyakinan Kristiani hanya satu, dan mungkin ini sisi perbedaan wacana teologi dalam Islam dan Kristen, mengapa yang disebut anak Allah hanya Yesus. Dalam konteks insan kamil dalam Islam, semua manusia memiliki kesempatan sampai pada derajat itu.
Dalam teologi Islam, yaitu pada Rukun Iman (atau syarat minimal seseorang dianggap beriman), diantaranya harus mempercayai bahwa Allah telah mengutus para nabi dan memberi kitab-kitab. Wali Sanga sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa, telah merangkai iman dan  kepercayaan pada para nabi dan kitab-kitab ini dalam sastra gending, menggambarkan enam syariat yang ada yaitu, syariat nabi Adam, nabi Nuh, nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Isa dan nabi Muhammad. Muhammad mempunyai nama atau istilah lokal yaitu Cahyaningrat atau pembawa syariat yang keenam. Islam yang berkembang di kerajaan Mataram, mewadahi syariat-syariat sebelumnya, bukan menghilangkan, bahkan menyelenggarakan. Bagi orang awam ini dianggap sinkretisme, tetapi sesungguhnya memiliki argumentasi atau pertanggungjawaban, sebagaimana tergambar dalam surat al Maidah ayat 8.
Syariat nabi Adam adalah syariat dalam komunikasi dengan alam. Nabi Adam awalnya mahluk ruhani yang tinggal di surga hanya bertasbih. Ketika dia memakan buah khudi, maka ia menjadi berjasmani dan tinggal di dunia. Praktek menyapa, tegur sapa dengan Tuhan melalui alam, sebagaimana dilestarikan agama-agama lokal seperti Kharingan, juga dalam masyarakat Jawa adalah membuat sesaji.
Syariat nabi Nuh dapat dipelajari dari kisah Nuh mengumpulkan mahuk yang berpasang-pasangan ketika akan menghadapi banjir bandang. Syariat Nuh terkait realitas kehidupan yang berpasang-pasangan, yin-yang, syariat membangun keseimbangan ketika ada pertentangan pada diri manusia. Syariat nabi Ibrahim adalah tentang kepasrahan total pada Tuhan atau hanif. Syariat nabi Musa dalam 10 perintah Tuhan dan syariat nabi Isa, dalam pemahaman ini karena beliau mahluk ruhani, sulit sekali diikuti oleh manusia lain, misalnya shalat setiap saat, puasa ngebleng 40 hari.
Dalam menyebarkan ajaran cinta dalam kerangka Islam, wali Songgo juga menggunakan sarana kisah-kisah yang ada dalam Mahabarata dan Ramayana. Dalam Memberikan pengajaran, para Wali juga menggunakan penggambaran pertentangan baik-buruk yang ada dalam diri manusia dengan simbol pertarungan Kurawa dan Panadawa. Senjata yang menjadi andalan Pandawa sebagai simbol kebaikan adalah jamus kalimasada yang dipegang oleh Yudhistira. Ajaran-ajaran hikmah ada di mana-mana dan hikmah merupakan harta orang beriman.
Dalam berpakaian, Islam Jawa juga membangun simbol simbol yang religius. Sorjan berasal dari kata sirojan, berarti pelita. Kancing pada leher yang 6 butir melambangkan rukun iman, kancing pada bagian tengah ada 5 menggambarkan rukun Islam, 3 yang kelihatan yaitu shalat, zakat dan haji, namun dua kancing tidak terlihat menggambarkan sahadat dan puasa.
Kata sajen memiiki akar kata siji, nyawijiaken (satu, menyatukan), artinya sebuah pernyataan simbolis dan estetis tentang pengakuan kebersamaan serta kerjasama dengan alam dalam menjaga kehidupan. Tujuan komunikasi dan menyelaraskan diri dengan alam adalah mencari ridho Tuhan. Pada awalnya sajen dibuat dari apa yang ada di alam, diramu, dimasak bersama agar semua dapat menyatu dan menyatukan yang hadir, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Dalam kebersamaan pula terangkum harapan bahwa ketika berdoa dilakukan dengan ihlas dan bersama-sama maka akan dikabulkan.
Dalam sajen di Jawa terdapat tumpeng, akronim dari tumindak lempeng atau (perilaku yang lurus), atau bisa juga akronim dari tumujuning Pengeran, (menuju pada Tuhan). Pada sajian tumpeng ini memiliki alas daun pisang ini juga merupakan simbol, dengan nama-nama pasaran, yaitu Pon (bagian paling bawah berarti sepupon atau saudara dekat), bahwa semua yang hadir dianggap sebagai sudara dekat. Wage (segawe: suatu kerja bersama, usaha bersama dan berkat bersama) bahwa membangun kehidupan selalu membutuhkan kerjasama. Kliwon (sepawon, satu dapaur bersama, satu rasa) kehadiran daam upacara menjadi tanda solidaritas atau kesatuan dalam merasakan hidup satu sama lain. Legi (samargi, satu jalan), Pahing (satu eling pada ujung tumpeng). Tumpeng menjadi simbol yang estetis dan berdaulat.
Denys Lombard sejarawan Prancis menggambarkan bangsa Jawa sudah memiliki peradaban tinggi. Ketika di Eropa masih sibuk mencari cara penjelasan tentang bagaimana relasi dengan liyan, di Jawa dan nusantara konsep ‘sesama manusia’ sudah berjalan dan menjadi nilai yang diagungkan.
*****
Moderator memberikan catatan tentang banyaknya kearifan lokal yang sangat penting dan berguna untuk merawat kehidupan saat ini. Namun kearifan daam berbagai ungkapan ini peru dikemas dengan bahasa yang ebih populer.
Komentar pertama dari Pak Suwarto ingin mendapat penegasan apakah Yesus adalah sosok yang sama dengan nabi Isa yang  disebutkan dalam al Quran? Nurwahyu menanyakan pendapat narasumber tentang pemikiran Zakir Naik yang selalu menyalahkan agama lain dalam ceramah-ceramahnya. Bu Anis bertanya bagaimana dampak dari pandangan teologis dalam menjalankan misi dan dakwah. Herlina bertanya pada prof. Bono  pandangan tentang perunya rumusan-rumusan baru dalam berteologi untuk kehidupan saat ini
Tanggapan Narasumber :
Prof Bono menanggapi pertanyaanPak Suwarto dengan memberikan penegasan bahwa Isa dan Yesus adalah sosok yang sama. Perbedaan pandangan muncul dari perbedaan pemikiran tentang mediasi; bagaimana Allah yang mutlak menyapa manusia. Dalam agama Kristiani mediasi itu ada dalam diri Yesus. Yesus adalah firman Allah. Sementara dalam agama Islam, mediasi itu dalam Al Quran. Jadi dalam agama Kristiani Yesus tidak hanya seorang nabi, melainkan dihayati sebagai Firman Tuhan. Sementara dalam agama Islam Firman Tuhan ada dalam al Quran, dan nabi Isa adalah seorang nabi.
Hal yang mempertemukan dari kedua padangan tentang bentuk mediasi yang berbeda adalah tentang ruh Allah (dalam agama Kristiani disebut Ruh Kudus) atau daya-daya kekuatan Allah yang diberikan kepada manusia yang menyebabkan mereka dapat mengikuti Firman Allah. Dalam Islam misalnya, surat al fatihah itu kalam Allah. Bagaiamana seorang muslim bisa mengikuti Kalam yang bukan darimanusia kalau bukandari daya-daya Tuhan ini? . Tanggapan Prof.Bono untuk Bu Anis: untuk mengatasi klaim-klaim kebenaran, yang perlu dilakukan adalah dengan membaca kitab suci secara sungguh-sungguh, jangan membaca kitab suci dengan kacamata dogma.
Untuk pertanyaan Nur Wahyu, Prof. Bono menyatakan,  mestinya sebuah lembaga pendidikan tinggi tidak mengundang orang yang dalam membangun relasi dengan agama lain dengan pemikiran apologetik, ini bukan jamannya lagi. Mestinya yang dibangun adalah dialog. Mungkin kita perlu mengumpulkan teks-teks yang saling menegasikan untuk dibaca dengan cara yang benar, bukan dengan kacamata dogma.
Kyai Jadul berpendapat dalam Islam ada pandangan bahwa Isa AS adalah mahluk ruhani. Karena mahluk ruhani maka selalu beribadah, shalatnya 50 kali sehari. Umat Islam tidak mampu mengikuti, maka dalam kisah isra mi’raj, nabi Muhammad menawar kepada Allah sampai tinggal 5 kali sehari.  Ada sisi-sisi yang sama , tetapi sisi-sisi perbedaan dalam narasi ini juga tetap kuat, karena demikian keunikan masing-masing agama (Lt). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Baru Pendidikan Toleransi di Indonesia

  Pandemi telah mengubah cara kerja masyarakat seluruh dunia. Semua pihak harus dapat beradaptasi dengan situasi penuh resiko ini agar tetap sehat dan semua aktivitas kehidupan dapat dilanjutkan. Demikian halnya dalam berbagai aktivitas pendidikan, selain harus mencari strategi yang aman dan efektif, juga harus tetap kreatif sehingga proses belajar mengajar berlangsung tanpa beban dan berdampak mencerdaskan.     Adaptasi Perkumpulan Pappirus terus mengupayakan pengembangan pendidikan keagamaan yang menumbuhkan kultur belajar yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran menerima keragaman sebagai kodrat manusiawi dan mengajak para pendidik agar dapat membantu peserta didik mengembangkan sikap toleran serta mampu bekerjasama dengan orang yang berbeda latar belakang. Adaptasi dalam mengelola perkumpulan antara lain dengan migrasi kegiatan secara daring atau gabungan daring dan luring, sebagaimana dilakukan dalam Rapat Umum Anggota Perkumpulan ke-3, 25 April 2021 dan pertemuan Pengurus Periode ba

PENTINGNYA PERUBAHAN PARADIGMA UNTUK MERAWAT RUH PENDIDIKAN

    Catatan Moderator Seri 01 Program ‘NGOPII Yoo’ atau ‘Ngobrol Pendidikan Interreligius-Indoneisa dari Yogyakarta’, adalah perbincangan untuk masyarakat umum secara daring, yang diselenggarakan atas kerjasama Perkumpulan Pappirus, Rumah Kearifan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Sanggar Anak Alam, setiap hari Rabu malam. Seri pertama Ngopii yoo pada Rabu, 11 Agustus 2021 mengangkat tema ‘Pendidikan yang Memerdekakan’. Banyak pemikiran berharga dalam perbincangan ini. Untuk itu moderator akan menyarikan gagasan-gagasan menarik di dalamnya untuk diunggah di laman pappirusindonesia.org                    Kehidupan bermasyarakat mengalami perubahan sangat cepat, dampak dari perkembangan teknoliogi digital pada berbagai proses kehidupanbaik dalam pengorganisasian, komunikasi maupun proses produksi barang dan jasa. Bukan hanya pada level permukaan, perubahan juga terjadi dalam penghayatan nilai-nilai. Menyambut ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke 76, sebagai bentuk ra

Webinar Moderasi Beragama

  Menindaklanjuti MoU kejasama Perkumpulan Pappirus dengan Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Indonesia tahun 2019, pada 11 Desember 2020 diselenggarakan webinar nasional dengan tema ‘Realiasasi Moderasi Beragama di Ranah Pendidikan Mene n gah dan Tinggi abad 21’ . Seminar diikuti oleh para mahasiswa, para pendidik, pegiat perdamai an dan masyarakat umum, dengan narasumber Supriyanto Abdi , dosen Progra m Studi PAI UII, Alexander Hendra Dwi Asmara, Ph. D, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Agama Katolik USD,  Tabita Kartika Christiani, Ph.D dan Anis Farikhatin, M.Pd pendidik dan pegiat Perkumpulan Pappirus dengan moderator Herlina Ratu Kenya, MAPT, pendeta gereja Kristen Sumba Timur. Dalam sambutan mewakili Perkumpulan Pappirus, Listia menyampaikan pentingnya terus melakukan pembelajara n dalam mengelola keragaman. Pendidikan agama perlu merespons perubahan dan situasi kemanusiaan yang ada, khusu s nya bagaimana menyelenggarakan pen