Langsung ke konten utama

Meneguhkan Persaudaraan Muslim, Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Dialog Sunni, Syiah, Ahmadiyah

Kiri-Kanan: DR. Abdul Mu'ti, M.Ed (Sekretaris Umum PP Muhammadiyah), Prof. DR. KH. Muhammad Machasin (Anggota Mu'tasyar PBNU), Maulana Abdul Basit, Shd (Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia), DR. Jalaluddin Rahmat (Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bayt Indonesia), Listia (Moderator/PaPPIRus)


Saling Sapa antarsaudara
Peneguhan persaudaraan muslim, persaudaraan keindonesiaan dan kemanusiaan akhir-akhir ini makin menghadapi banyak tantangan, terutama terkait persaingan politik kekuasaan di Indonesia maupun dampak globalisasi, kesenjangan sosial dan ketidaksiapan dalam menghadapi perubahan sosial yang sangat cepat. Tantangan ini mestinya menuntun semua pihak untuk memandang ke dalam, untuk menghidupkan kembali ruh persaudaraan sebagai modal menghadapi berbgai tantangan persoalan bersama. Adanya pengabaian terhadap praktek-praktek diskriminasi pada kelompok minoritas dan berkembangnya paham kebencian terhadap liyan menjadi potret kelam ketidakmampuan banyak muslim meneladani contoh Nabi dalam mengedepankan persaudaraan, saling menghargai perbedaan paham dan dalam mengutamakan kepentingan bersama. Nabi Muhammad telah memberi contoh nyata bagi umat Islam dalam membangun hidup damai bersama, termasuk dengan kelompok yang berbeda kitab suci dan dengan mereka yang bukan ahlul kitab.
Dialog pada 16 Mei 2017 ini diselenggarakan dengan tujuan untuk mengingatkan dan mematik kembali semangat persaudaraan muslim yang ramah dan toleran, yang bersama saudara-saudara kaum beriman agama lain pada masa lalu telah mampu membangkitkan nasionalisme Indonesia sebagai sarana pengembangan perdamaian dan pertumbuhan martabat kemanusiaan di bumi nusantara.
Narasumber kegiatan ini adalah Prof. DR. KH. Muhammad Machasin, (Mustasyar PBNU), DR. H. Abdul Mu’ti, M.Ed (Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah), DR Jalaluddin Rakhmat, M.Sc (Ketua dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bayt Indonesia) dan Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Maulana Abdul Basit, Shd. Peserta dialog terdiri utusan dari ormas-ormas keagamaan NU, Muhammadiyah, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Ikatan Jamaah Ahlul Bayt Indonesia (IJABI), para Pendidik anggota PaPPIRus dan peninjau mahasiswa Paska Sarjana Fakultas Teologi UKDW dan beberapa Pendeta dari Gereja Kristen Jawa dan Gereja Kristen Indonesia.
Dalam sambutan selaku tuan rumah, rektor Universitas Kristen Duta Wacana Ir. Henry Feriadi, Ph.D menyampaikan, sesungguhnya dia belum memahami mengapa Duta Wacana dipilih sebagai tempat penyeenggaraan acara. Tetapi beliau memahami dari dari pembacaan artikel yang ditulis oleh Shalahuddin Wahid tentang Islam dan Indonesia, bahwa dialog kali ini terkait langsung dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan semangat persaudaraan pula, UKDW berbahagia dapat berpartisipasi dalam dalam kegiatan dengan menyediakan ruangan. Subkhi Ridho menimpali dalam sambutan mewakili panitia penyelenggara, bahwa pemilihan tempat di UKDW sekaligus untuk menghilangkan rasa sungkan yang biasanya muncul dikalangan muslim ketika harus berhubungan dengan saudara-saudara Kristen. Sehingga partisipasti UKDW menjadi sesuatu yang sangat berharga dalam dialog ini.
Nilai-nilai Universal dalam Islam
Para narasumber menguraikan pemikirannya dengan dipandu pertanyaan-pertanyaan dari Listia sebagai moderator, sehingga terbangun suasana rileks dan komunikatif. Banyak gurauan yang dilontarkan antarnarasumber, forum pun ger geran menumpahkan suasana kekeluargaan, meski sesunguhnya yang dibahas adalah hal-hal yang sangat serius dan bagi masyarakat di luar mungkin menjadi sesuatu yang sensitif untuk dibicarakan.
Pada sesi pertama pertama, para narasumber memahas nilai-nilai universal dalam Islam dalam pengalaman Muhammadiyah, Ahmadiyah, Syiah dan NU yang dihidupi dalam ajaran maupun program, tantangan-tantangan yang dihadapi atau kesulitan dalam mendaratkan ajaran yang memiliki keluwesan, keluasan, ramah serta mengutamakan ahlak karimah dan dampak proses membumikan nilai-nilai universal dalam Islam bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengawali perbincangan, DR. Abdul Mu’ti menyampaikan keprihatinan, bahwa di usia yang memasuki 70 tahun sebagai negara merdeka, dalam kehidupan berangsa dan bernegara, Indonesia masih menghadapi pertanyaan tentang bagaimana menjadi Indonesia. Secara konseptual para pendiri bangsa sudah meletakkan pijakan yang sangat kokoh bahwa Indonesia terbentuk dari beragam suku dan agama. Namun sekarang, persoalan keagamaan masih menjadi bagian dari persoalan keindonesiaan. Persoalan keagamaan ini menurut DR. Adul Mu’ti tidak hanya terkait dengan tafsir atas teks keagamaan, juga faktor globalisasi yang membuat orang sangat terbuka dengan hal-hal baru, atau sebaliknya sangat defensif dengan identitasnya sendiri. Masyarakat Indonesia, dengan kekutan budaya lokal mereka sesungguhnya memiliki karakter yang terbuka dan toleran namun ketika politik mendominasi kehidupan, karakter ini makin tergerus.
DR Abdul Mu’ti menggambarkan bahwa masyarakat dan para pimpinan Muhammadiyah tidaklah homogen dalam meninggikan nilai-nilai universal dalam Islam, dengan mengangkat gambaran heterogenitas berdasarkan penelitian DR.Munir Mulkhan dengan penuh canda. Demikian halnya di kalangan NU sebagai organisasi keagamaan yang dikenal sebagai pengawal Pancasila dan NKRI, diantar pengurusnya juga memiliki padangan sikap yang beragam, sebagaimana diakui Prof.DR Machasin. Para pengurus wilayah NU maupun Muhammadiyah di berapa daerah ada yang justru menjadi pendukung intoleransi. Heterogenitas pandangan dan sikap warga dan pemimpin Muhammadiyah maupun NU ini menjadi tantangan tersendiri, sehingga saat ini sangat dibutuhkan pemimpin-pemimpin agama yang mampu memegang prinsip ajaran universal dalam Islam, termasuk di dalam ajaran tentang bertoleransi. Saat ini untuk memilihan memegang prinsip nilai-nilai universal dalam Islam, khusunya dalam menghadapi kebhinnekaan, membawa resiko mendapat penolakan dari kalangan sendiri. Tetapi seorang pemimpin harus hidup dengan prinsip-prinsip.
Dalam mengembangkasi sikap toleransi, menurut DR. Abdul Mu’ti, pemahaman kognitif tentang agama orang lain itu penting, tetapi tidak menjamin melahirkan sikap toleran, tergantung ketulusan dalam mempelajari perbedaan ajaran. Hal yang lebih dibutuhkan adalah aksi-aksi yang dapat mendorong inkluasi sosial secara alamiah. Dialog-dialog yang dilakukan secara resmi seringkali elitis dan tidak mendarat di akar rumput, maka dibutuhkan dialog berupa kegitan bersama dalam menanggapai persoalan kemanusiaan bersama, seperti saat menghadapi bencana, pada layanan kesehatan atau pendidikan. Dari kegiatan kegiatan bersama ini akan dirasakan bagaimana ayat-ayat kitab suci yang berbeda ternyata menyeru dan mendorong pada berbuatan baik untuk kepentingan bersama.

Maulana Abdul Basit Shd menekankan bahwa nilai-nilai universal dalam Islam mengejawantah dalam ahlak karimah, maka hal ini yang perlu dikedepankan adalah berbuat baik dengan tulus. Kepedulian sosial dilakukan dengan tulus tentu tidak akan mengundang perlawanan warga, sebagaimana misalnya dilakukan oleh JAI di daerah Ngloro kabupaten Gunung Kidul DIY dengan mendirikan Klinik Kesehatan ASIH SASAMA (sebagai terjemahan dari semboyan ‘love for all, hatred for none’). Dalam dua tahun terakhir ini masyarakat yang berobat di sana hingga dua ribuan. Demikian pula dengan berbagai aktifitas JAI dalam program ‘Humanity First’, menujukkan nilai-nilai universal dalam Islam yang terwadahi dalam ahlak karimah pada sesama. Amir Nasional JAI menegaskan, masa kejayan Islam tidak terjadi pada masa perang, melainkan ketika keunggulan ahlak umat Islam dirasakan oleh berbagai bangsa. Ketika keimanan pada Allah tercermin dalam perbuatan pada sesama manusia.


Beberapa Tantangan
Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Alul Bayt Indonesia membuka kisah keakraban antara dirinya dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, organisasi tempat berkiprah sebelum masuk dalam keluarga Syiah. Keakraban ini sesuatu yang di kalangan bawah tidak mudah di temukan, terutama karena akhir-akhir ini berkembang paham keagamaan yang mengkafir-kafirkan kelompok yang berbeda. Menanggapi situasi yang berkemambang saat ini DR. Jalaluddin Rakhmat bertekad menyuarakan pentingnya memperikan pengertianpada umat untuk membedakan antar makna kata Islam dan Islamisme. Islam adalah ajaran yang diturunkan pada nabi Muhammad SAW agar menjadi rahmat bagi kehidupan, sedangkan islamisme dengan menyinggung Bassam Tibi, adalah suatu bentuk politisasi agama atau tasiran tunggal tentang suatu ajaran Islam yang dipolitisasi demi suatu kepentingan. Maka Islamisme adalah suatu gerakan politik. Perjuangan kaum islamis bukan untuk memperbaiki ahlak, melainkan untuk merebut kekuasaan. Islamisme tidak mengenal toleransi karena segala sesuatu harus mendukung cita-cita berdirinya negara Islam. Padahal banyak hadist menunjukkan nabi diutus bukan untuk menjadi penguasa, nabi sendiri yang memilih untuk menjadi hamba dan seorang nabi, saat ditawari kekuasaan oleh malaikat Jibril.
Menurut perspektif Syiah, sebagaimana disampaikan oleh DR. Jalaluddin Rakhmat, ada contoh dari sahabat Ali RA, yang sempat diangkat tangannya oleh Nabi sambil mengatakan, ‘barang siapa yang menjadikan aku sebagai panutan, ikutilah Ali’. Tapi ketika umat Islam di masa awal memilih Abu Bakar RA untuk menjadi penerus nabi, Ali RA menyatakan, ‘Aku akan menjadi warga biasa yang taat dan mendengarkan’. Ali mencontohkan menyerahkan kekuasaan demi kerukunan umat. Artinya kekuasaan dalam Islam bukan menjadi tujuan.
Dalam mewujudkan toleransi dan penerimaan perbedaan yang ada dalam masyarakat, Prof. DR. Machasin mensinyalir adanya tantangan potensial sejak awal, bahwa agama-agama import, yaitu agama-agama yang datang dari luar yang masuk ke nusantara telah membawa perpecahan dari asalnya. Maka bisa di pahami bila paham yang berkembang di Indonesai kemudian pun menjadi sangat beragam. Namun menurut Prof. Machasin, ada faktor lain yang ada di dalam negeri maupun di luar. Dengan menyingung karya Ibnu Thufail tentang tokoh Salaman tokoh yang digambarkan senang dengan sengaja mengutak-atik kesakralan agama untuk suatu kepentingan politik kekuasaan yang mereka kejar. Prof. Machasin melihat, ada agen ‘salaman’ dalam berbagai gejolak akhir–akhir ini. Agen yang mengutak-atik sakralitas agama untuk suatu kepentingan tertentu ada di dalam maupun di luar negeri.



Penanaman Toleransi
Beberapa pertanyaan lebih menyoroti tanggapan yang muncul pada sesi ini antara lain mengapa masih ada pimpinan wilayah Muhammadiyah yang mendukung intoleransi atau melukai perasaan kelompok-kelompok muslim yang berbeda atau non muslim, mengapa pandangan dan sikap pimpinan elit organisasi yang terbuka dan toleran tidak diikuti oleh para pengurus organisasi di bawah, sehingga berdampak memunculkan sikap intoleransi dalam masyarakat bawah? Menanggapi komentar ini DR. Abdul Mu’ti mengatakan di organisasi-organisasi besar kadang kekurangan aktor-aktor menengah yang dapat menterjemahkan gagasan-gagasan toleran dan Islam yang luwes ke bawah. Kelangkaan aktor yang dapat menjalankan fungsi ini menjadi persoalan nyata. Selain itu tidak semua orang berani mengambil resiko ketika menegakkan sebuah prinsip. Masih dibutuhkan banyak dialog seperti ini dan upaya-upaya mengajak umat untuk terbuka dan saling mengenal liyan. Melalui dialog-daiaog ini diharapkan bisa menjawab tatnagn masa depan Islam yang luwes?
Prof Machasin menambahkan, adakalanya tindakan intoleran masyarakat terjadi bukan murni faktor agama. Sebagaimana keributan warga NU dan Syiah di Sampang Madura, atau di Sulawesi Tenggara, ada tokoh-tokoh NU yang terlibat dalam tindakan intoleransi, tetapi orang-orang yang mendukung dan berupaya melindungi kelompok minorotas juga orang-orang muda NU. Bila dicermati ada banyak masalah yang bukan terkait agama, madzhab atau keimanan, tetapi terkait otoritas, kekuasaan, ruang eksistensial, maupun pendapatan yang memang harus dibagi dalam pengaturan penyelenggaraan kehidupan bersama termasuk dalam kegiatan keagamaan. Selain itu, sesungguhnya umat Islam lebih mudah untuk dibawa bersatu dari pada berkonflik tetapi ada orang-orang yang memanfaat emosi umat untuk kepentingan di luar kepentingan Islam dan umat Islam sendiri. Diantara orang Muhammadiyah dan NU juga sering muncul ketegangan terkait otoritas pengaturan ini, di masjid-masjid misalnya. Pada saat yang sama muncul ustadz-ustadz yang sebenarnya belum bisa mengajarkan agama tetapi mengajarkan melaui tulisan buletin Jumat atau film pendek di youtube. Maka kita penting sekali menangani upaya untuk menyiapkan manajer atau tokoh tokoh yang dapat menterjemahkan ajaran-ajaran agama yang toleran dan membawakan Islam rahmatan lil’alamiin.
Menurut Abdul Basit, mengapa masyarakat kesulitan untuk menerima perbedaan adalah karena kurangnya contoh langsung dari para pemimpin mereka. Bila pemimpin memberika contoh baik dalm bertoleransi maka yang di bawah akan mengikuti. Selain syariat yang diberikan kepada Nabi Muhammad, hal terpenting kedua setelah al Quran adalah sunnah, yaitu contoh-contoh bagaimana nabi Muhammad SAW menjalani kehidupan. Abdul Basit juga mengingatkan, Islam tidak mengajarkan untuk merebut kekuasaan, semua yang bertentangan dengan ajaran rasulullah akan gagal. Untuk menjadi muslim sejati tidak perlu dengan memiliki kekuasaan. 13 tahun di Makkah rasulullah di Makkah juga tidak membangun kekuasaan. Kepemimpinan dalam Ahmadiyah disebut Khalifah, tetapi kepemimpinan di sini bermakna spiritual, maka dapat melintas batas-batas negara. Jemaat Ahmadiyah berada di 209 negara, tidak ada konflik dengan kekuasaan negara. Ahmadiyah meyakini bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman. Ajaran Islam lebih ditujukan untuk pribadi masing-masing, meski keberagamaan setiap orang akan berpengaruh pada kelompoknya.
Peserta dialog berharap agar pertemuan ini tidak berhenti pada wacana, karena daat ini sangat dibutuhkan aksi nyata dalam mengimbangi meluasnya paham yang memecah belah masyarakat dengan penuh kebencian. Seorang Pendeta yang mengajukan pertanyaan juga mengusulkan agar umat Kristiani juga mengimbangi usaha-usaha kalangan muslim. Dalam konteks keindonesiaan, Pancasila masih perlu ditanamkan kembali termasuk melalui pengajaran agama.
Menurut Abdul Mu’ti mengatakan bahkan di tingkat elit Muhammadiyah pun masih beragam. Dalam soal Syiah misalnya keputuhan PP adalah bahwa Syiah memiliki pandangan yang berbeda dan dengan Ahmadiyah berbeda tafsiran. Keislaman perlu melihan fondasi ayat-ayat universal, Islam sejak awal mengajak pada universal ikatan iman melintasi batas-batas etnis bahkan agama. Untuk konteks Indonesia memaknai bhinneka tunggal ika, harusmenjadi pilihan, sebagai ciri keindonesiaan. Pendekatan ahlak yang diutamakan melintasi batas-batas perbedaan tanpa harus jatuh pada sinkretisnya. Puncak beragama dalam adalah ahlak karimah. Interaksi adalah untuk mencairkan hubungan, termasuk dalam mengatasi hambatan varian dalam kepemimpinan dalam Muhammadiyah. Dalam sebuah organisasi harus ada pemimpin yang berani mengambil prinsip. Tapi bila prinsip itu diperjuangkan maka prinsip-prinsip itu akan diakui. Repotnya lebih banyak pemain aman dan dan kelompok oportunis. Perbedaan harus disadari bahwa kita tidak satu, tetapi tidak satu tidak berarti tidak bisa disatukan.
Menanggapi hal ini membuka dengan pembahasan tentang islam adalah sebuah keimanan, sedangkan islamisme adalah madzhab politik berdasarkan
DR.Jalaluddin Rakhmat menambahkan bahwa penting sekali kelompok-kelompok minoritas yang sebelum ini diam untuk bersuara, karena bila tetap diam maka arus besar informasi akan makin meminggirkan keberadaan kelompok-kelompok yang diam. Senada dengan hal ini Prof. Machasin menambahkan bahwa gerakan yang menyuarakan persaudaraan muslim dan keindonesiaan harus bergerak lebih agresif untuk memperjuangkan keterbukaan dan keadilan bagi semua dan untuk keutuhan Indonesia. Untuk semua usaha ini, Maulana Abdul Basit menekankan pentingnya kerjasama dengan semua pihak yang berkehendak baik bagi kehidupan bersama.


Klarifikasi Informasi
Sesi kedua adalah mengklarifikasi kesalahpahaman antarkelompok, khususnya yang dialami oleh Syiah dan Ahmadiyah, serta merencanakan kegiatan bersama yang mungkin dilakukan dalam rangka meneguhkan persaudaraan muslim, keindonesiaan dan kemanusiaan.
Peserta mengajukan pertanyaan pada kelompok Ahmadiyah tentang hal-hal yang banyak dipahami oleh masyarakat awam yang perlu mendapatkan klarifikasi, yaitu benarkan Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi terakhir dalam keyakinan Ahmadiyah?, benarkah kitab suci Ahmadiyah adalah kitab Tadzkiroh yang ditulis oleh Mirza Ghulam Ahmad? dan Apakah sahadat kelompok berbeda dengan umat Islam pada umumnya?. Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah menangapi pertanyaan-pertanyaan ini. Ahmadiyah sebagai pengikut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, adalah seorang pengikut dan umat Nabi Muhammadi SAW dalam seluruh syariatnya. Ahmadiyah memiliki pandangan bahwa ada beberapa makna kata nabi. Ada nabi pembawa syariat dan sifat kenabiannya berdiri sendiri, ada nabi yang sifat kenabiannya terkait dengan kenabian yang lain, ada juga nabi yang merupakan pencerminan dari nabi yang lain. Bagi Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang hamba yang sholeh, yang mendapatkan karunia nubuwat dan bagi kalangan Ahmadiyah, sifat kalam Allah SWT tidak dapat dibatasi oleh manusia. Kalangan Ahmadiyah juga meyakini Hazrat Mirza Ghulam Ahmad tidak menerima kitab suci dan syariat baru. Kitab suci Ahmadiyah adalah al Quran. Ahmadiyah Internasional telah menterjemahkan al Quran dalam lebih dari 80 bahasa. Rukun Islam dan rukun iman jemaat Ahmadiyah adalah sama dengan Ahlussunah waljamaah. Demikian pula sahadatnya pun sama. Adapun kitab Tadzkiroh adalah kitab pengalaman ruhani dari Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang ditulis ulang setelah beliau wafat, untuk diketahui para pengikutnya.
Pertanyaan masyarakat awam terhadap kelompok Syiah yang dibahas dalam dialog sesi kedua ini adalah terkait kawin mut’ah dan tentang hal yang paling membedakan antara kelompok Suni dan Syiah. DR. Jalaluddin Rakhmat menyampaikan perbedaan yang paling mendasar dari Islam Suni dan Syiah yang hanya pada soal wasiat Nabi tentang kepemimpinan setelah Beliau. Kelompok Suni berkeyakinan Nabi tidak memberikan wasiyat, sementara kelompok Syiah berkeyakinan bahwa nabi memberi wasiyat tentang kepemimpinan setelah beliau. Dalam perjalanan kemudian memang muncul beberapa pemikiran yang unik di masing-masing kelompok, dalam bidang fiqh, Mmisalnya tentang kawin mut’ah. Jalaluddin Rakhmat menjelaskan dalam pengertian umum bahwa kawin mut’ah adalah kawin yang bersyarat. Sementara sesungguhnya semua orang Indonesia yang menikah di KUA membacakan sighot ta’liq yang adalah juga pernikahan yang bersyarat. Ini tampak dalam pernyataan “ bila dalam sekian bulan berturut turut saya tidak memberi nafkah, maka…”.
Syamsuddin Baharudin ketua IJABI juga menambahkan tentang beberapa anggapan masyarakat awam bahwa kaum Syiah adalah kelompok yang suka mengolok-olok Khulafaur Rasyidin. Syamsuddin mengatakan bahwa tidak bisa dipungkiri pada setiap kelompok ada orang-orang yang memiliki pandangahn yang keras dan tidak toleran. Namun para ulama Syiah sudah bermufakat bahwa mengolok-olok para sahabat adalah tindakan yang terlarang. Haram hukumnya bagi warga Syiah mengolok-olok semua simbol-simbol suci yang dimiliki saudara-saudara muslim Ahlussunah waljamaah. Maka sangat penting dalam meneguhkan persaudaraan muslim, keindonesiaan dan kemanusiaan ini,menurut Syamsuddin agar lembaga-lembaga agama Islam mempunyai pernyataan sikap yang jelas, yang menyatakan misalnya, siapa yang mengeluarkan pendapat-pendapat yang tidak mendukung toleransi adalah pernyataanpribadi, bukan pernyataan resmi lembaga.
Salah satu tokoh Muhammadiyah yang hadir dalam Dialog ini, DR. Hamim Ilyas membenarkan apa yang disampaikan DR. Abdul Mu’ti bahwa Muhammadiyah memiliki pandangan yang sangat heterogen. Internal Muhammadiyah belum satu suara tentang bagaimana mengejawantahkan persaudaraan muslim dan keindonesiaan. Perlu ada upaya berkelanjutan dan melibatkan lebih banyak pihak untuk mendaratkan gagasan-gagasan ini sampai pada akar rumput.
Setelah melalui kalrifikasi terkait pemahaman tentang kelompok Syiah dan Ahmadiyah, forum melanjutkan pembahasan tentang langkah kedepan yang mungkin dilakukan. Panitia menyediakan naskah deklarasi yang diharapkan dapat menjadi pengikat bagi keberlanjutan usaha dialog dalam rangka meneguhkan persaudaraan muslim, keindonesiaan dan kemanusiaan. Namun ada beberapa hal terkait redaksi yang belum disepakati, maka akan dibentuk tim kecil yang membahas naskah ini dan langkah-langkah selanjutnya sebagai tindak lanjut dialog. Acara ditutup dengan foto bersama para peserta.

Dialog Suni-Syiah-Ahmadiyah Menyambut Ramadhan, dengan tema Meneguhkan Persaudaraan Muslim, Keindonesiaan dan Kemanusiaan” diselenggarakan oleh Paguyuban Penggerak Pendidikan Interreligius (PaPPIRus), bekerjasama dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Pusat Studi Agama-agama Universitas Kristen Duta Wacana (PSAA-UKDW)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Baru Pendidikan Toleransi di Indonesia

  Pandemi telah mengubah cara kerja masyarakat seluruh dunia. Semua pihak harus dapat beradaptasi dengan situasi penuh resiko ini agar tetap sehat dan semua aktivitas kehidupan dapat dilanjutkan. Demikian halnya dalam berbagai aktivitas pendidikan, selain harus mencari strategi yang aman dan efektif, juga harus tetap kreatif sehingga proses belajar mengajar berlangsung tanpa beban dan berdampak mencerdaskan.     Adaptasi Perkumpulan Pappirus terus mengupayakan pengembangan pendidikan keagamaan yang menumbuhkan kultur belajar yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran menerima keragaman sebagai kodrat manusiawi dan mengajak para pendidik agar dapat membantu peserta didik mengembangkan sikap toleran serta mampu bekerjasama dengan orang yang berbeda latar belakang. Adaptasi dalam mengelola perkumpulan antara lain dengan migrasi kegiatan secara daring atau gabungan daring dan luring, sebagaimana dilakukan dalam Rapat Umum Anggota Perkumpulan ke-3, 25 April 2021 dan pertemuan Pengurus Periode ba

PENTINGNYA PERUBAHAN PARADIGMA UNTUK MERAWAT RUH PENDIDIKAN

    Catatan Moderator Seri 01 Program ‘NGOPII Yoo’ atau ‘Ngobrol Pendidikan Interreligius-Indoneisa dari Yogyakarta’, adalah perbincangan untuk masyarakat umum secara daring, yang diselenggarakan atas kerjasama Perkumpulan Pappirus, Rumah Kearifan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Sanggar Anak Alam, setiap hari Rabu malam. Seri pertama Ngopii yoo pada Rabu, 11 Agustus 2021 mengangkat tema ‘Pendidikan yang Memerdekakan’. Banyak pemikiran berharga dalam perbincangan ini. Untuk itu moderator akan menyarikan gagasan-gagasan menarik di dalamnya untuk diunggah di laman pappirusindonesia.org                    Kehidupan bermasyarakat mengalami perubahan sangat cepat, dampak dari perkembangan teknoliogi digital pada berbagai proses kehidupanbaik dalam pengorganisasian, komunikasi maupun proses produksi barang dan jasa. Bukan hanya pada level permukaan, perubahan juga terjadi dalam penghayatan nilai-nilai. Menyambut ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke 76, sebagai bentuk ra

Webinar Moderasi Beragama

  Menindaklanjuti MoU kejasama Perkumpulan Pappirus dengan Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Indonesia tahun 2019, pada 11 Desember 2020 diselenggarakan webinar nasional dengan tema ‘Realiasasi Moderasi Beragama di Ranah Pendidikan Mene n gah dan Tinggi abad 21’ . Seminar diikuti oleh para mahasiswa, para pendidik, pegiat perdamai an dan masyarakat umum, dengan narasumber Supriyanto Abdi , dosen Progra m Studi PAI UII, Alexander Hendra Dwi Asmara, Ph. D, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Agama Katolik USD,  Tabita Kartika Christiani, Ph.D dan Anis Farikhatin, M.Pd pendidik dan pegiat Perkumpulan Pappirus dengan moderator Herlina Ratu Kenya, MAPT, pendeta gereja Kristen Sumba Timur. Dalam sambutan mewakili Perkumpulan Pappirus, Listia menyampaikan pentingnya terus melakukan pembelajara n dalam mengelola keragaman. Pendidikan agama perlu merespons perubahan dan situasi kemanusiaan yang ada, khusu s nya bagaimana menyelenggarakan pen