Langsung ke konten utama

Buku "Menjadi Manusia Indonesia yang Beradab"


Setelah melakukan berbagai revisi dalam konten, sistematika maupun aspek metodologi yang ditampilkan yang memakan waktu lebih dari satu tahun, buku “Suplemen Pendidikan Agama dan Budi Pekerti untuk SMA dan sederajat, Menjadi Manusia Indonesia yang Beradab Melalui Pendidikan Agama Berwawasan Pancasila”. terbit pada 19 Juni 2019.

Gagasan utama dari perkumpulan ini dalam rangka menanggapi tantangan dalam kehidupan masyarakat majemuk adalah suatu pemikiran bahwa di balik perbedaan dan keunikan yang ada dalam semua agama dan budaya terdapat titik temu berupa nilai-nilai kebaikan bersama yang diajarkan oleh semua agama dan kebudayaan. Nilai-nilai kebaikan bersama yang dijunjung dalam konteks hidup bersama ini tidak lain adalah nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila. Maka istilah lain dari Pendidikan Interreligius (PIR) adalah Pendidikan Agama Berwawasan Pancasila (PABP). Pada irisan inilah umat semua agama dapat belajar saling menerima dan saling menghormati sebagai sesama manusia maupun sebagai anak bangsa dan mengakui adanya kesamaan dalam perbedaan sehingga dapat saling  belajar untuk menguatkan satu sama lain.

PABP-PIR dirumuskan dengan tujuan menghadirkan pendekatan dan metode pendidikan yang lebih menyentuh kehidupan peserta didik, memberi pengalaman yang mendudukkan peserta didik sebagai subyek aktif. Dalam proses yang disepakati bersama, peserta didik dilibatkan menumbuhkan pengetahuannya sendiri, mengembangkan kesadaran dan kepekaan bahwa perbedaan agama, kepercayaan dan budaya adalah kenyataan alamiah kehidupan manusia yang dapat memperkaya batin mengasah kearifan, bahkan mematangkan iman sesuai agama masing-masing. Pengalaman ini juga sangat baik bagi pertumbuhan konsep diri peserta didik agar lebih terdorong mengembangkan semua potensi yang dimiliki.

PABP-PIR berfungsi menjadi pengayaan atau suplemen pendidikan agama yang dirancang untuk menyediakan ruang-ruang perjumpaan untuk diskusi dan menggali kreativitas terkait dialog, kenal, peka dan peduli pada masalah-masalah yang ada dalam masyarakat majemuk. Dengan pengayaan ini, menyediakan jembatan bagi pendidikan agama yang secara formal eksklusif, untuk terbuka dengan rela hati pada perbedaan.  Diharapkan dengan bekal ini, kelak di tengah lingkungan terdekat dan masyarakat, peserta didik memiliki kemampuan mengelola keragaman yang ada, memiliki semangat dialog, mampu bekerjasama dalam lingkungan yang beragam dan mampu berpartisipasi mewujudkan prinsip keadilan dalam kehidupan sosial yang majemuk. 

Sejak proses lokakarya penulisan hingga penerbitan buku, PAPPIRUS mendapat dukungan dari berbagai kalangan, seperti Komisi Kataketik Kesukupan Agung Semarang yang menyediakan tempat selama lokakarya penulisam, Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana dalam pembiayaan penerbitan dan Kanwil Kemenag DIY dalam sosialisasi untuk guru-guru agama dari berbagai latar belakang. Selain itu masih ada dukungan personal dari berbagai latar belakang lembaga dan dalam berbagai bentuk terutama selama masa-masa diskusi perumusan naskah.



Gagasan Dasar

Pendidikan menjadi ruang pendewasaan termasuk dalam beragama, karena itu pendidikan interreligius menempatkan peserta didik sungguh-sungguh sebagai subyek pembelajar, guru perlu berdaptasi sebagai fasilitator. Pendidikan agama harus membantu pemenuhan kebutuhan generasi muda tentang visi hidup yang bermakna sesuai jaman.

Model pendidikan interreligius mempertemukan nilai-nilai yang sama yang diajarkan oleh semua agama untuk belajar mengatasi persoalan-persoalan bersama dan berorientasi pada kebaikan atau kemaslahatan bersama. Oleh karena mempertemukan nilai-nilai yang sama di balik perbedaan formal agama-agama termasuk agama atau keyakinan lokal, pendidikan interreligius juga disebut sebagai pendidikan agama berwawasan Pancasila. Tema umum yang diangkat adalah menjujung dan menghormati martabat manusia. 

Ciri-ciri Model Pendidikan Interreligius

Sebagai suatu model pendidikan agama yang terbuka dan dialogis, Pendidikan Interreligius dapat dihadirkan dengan berbagai cara. Namun ada cici-ciri model yang dapat dikenali: Pertama bersifat dialogis, bukan hanya metode yang digunakan dalam proses pembelajaran, namun dari sisi materi juga menghadirkan keragaman, yaitu peserta didik dikenalkan dengan orang-orang atau komunitas yang memiliki keyakinan berbeda. Perbedaan tidak dihindari, tapi justru diakrabi sebagai bagian dari penerimaan identitas diri dan pengenalan pada yang lain yang berbeda. Melalui proses dialog ini peserta didik mendapat kesempatan didengar dan mendengar pengalaman penghatayan tentang nilai-nilai agama yang berbeda-beda.

Ciri kedua model pendidikan ini adalah belajar dari realitas hidup dengan mengamati, menganalisis dan merefleksikan untuk menemukan nilai utamanya, kemudian mengambil pelajaran dari ajaran agama masing-masing sambil mendengar tentang ajaran agama lain tentang nilai-nilai yang sama. Model evaluasi yang digunakan adalah dengan menghargai usaha dalam proses kreatif oleh peserta didik, dalam proses-proses komunikasi yang menggambarkan aspek pegetahuan, sikap dan ketrampilan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Baru Pendidikan Toleransi di Indonesia

  Pandemi telah mengubah cara kerja masyarakat seluruh dunia. Semua pihak harus dapat beradaptasi dengan situasi penuh resiko ini agar tetap sehat dan semua aktivitas kehidupan dapat dilanjutkan. Demikian halnya dalam berbagai aktivitas pendidikan, selain harus mencari strategi yang aman dan efektif, juga harus tetap kreatif sehingga proses belajar mengajar berlangsung tanpa beban dan berdampak mencerdaskan.     Adaptasi Perkumpulan Pappirus terus mengupayakan pengembangan pendidikan keagamaan yang menumbuhkan kultur belajar yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran menerima keragaman sebagai kodrat manusiawi dan mengajak para pendidik agar dapat membantu peserta didik mengembangkan sikap toleran serta mampu bekerjasama dengan orang yang berbeda latar belakang. Adaptasi dalam mengelola perkumpulan antara lain dengan migrasi kegiatan secara daring atau gabungan daring dan luring, sebagaimana dilakukan dalam Rapat Umum Anggota Perkumpulan ke-3, 25 April 2021 dan pertemuan Pengu...
Webinar Pappirus: Bagaimana Mengakhiri Ketidakjujuran Dalam Dunia Pendidikan Masa Kini? Apakah mungkin “mengakhiri ketidakjujuran di lembaga-lembaga pendidikan?”. Dalam bincang-bincang Pendidikan yang diselenggarakan Perkumpulan Pappirus 12 November 2024 lalu, Pak Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia dan Romo CB Mulyatno, PR, membahas tiga aspek yang memungkinkan seseorang dan komunitas bersikap tidak jujur. Pertama, adanya rasionalisasi atau cara berfikir yang menyediakan alasan bagi tindakan tidak jujur. Kedua, adanya kesempatan atau kondisi yang memungkinkan munculnya sikap tidak jujur. Ketiga, adanya tekanan yang membuat seseorang terpaksa bersikap tidak jujur. Seseorang yang memiliki otonomi dan memiliki kompas moral dalam memilih tindakan, akan senantiasa bertahan dengan gigih dan teguh pada nilai kebenaran dan bersikap jujur, tidak akan mencari-cari pembenaran atas sikap yang tidak jujur. Selalu ada kesadaran bahwa sikap tidak jujur adalah tindakan salah, berbahaya...

Selamat Datang Paus Fransiskus di Indonesia

Bersahaja dan rendah hati Itu selalu ada pada orang-orang yang menebar cinta, mengutamakan perdamaian dari pada kekuasaan, sesuatu yang oleh elit negara dan masyarakat di banyak tempat mulai ditinggalkan.. Agama, dengan segala kekurangan manusiawi pemeluknya, menggenggam tradisi kritik atas kelengahan dan kerakusan manusia, menawarkan pengingat bahwa hidup tidaklah selesai dengan kematian. Dampak dari laku akan diterima orang, mahluk lain dan generasi berikut, maka harus dipertanggungjawabkan. Nalar modernitas selalu enggan dengan nilai-nilai yang dianggap abstrak karena kengganan membuka diri atas keterbatasan rasio dan salah paham pada dir sendiri yang menganggap manusis adalah pusat kehidupan. Nalar yang mengantar pada kebuntuan oleh rasa terasing, persaingan yang menghadirkan kesenjangan, pengabaian aturan (yang hakikatnya pengabaian pada orang banyak), peperangan hingga penghancuran martabat dalam perdagangan orang dan perbudakan baru .. Tapi agama tetap bicara perdamaian, ...