Langsung ke konten utama

Diskusi Buku di Kantor Kementerian Agama Kota Yogyakarta dan di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Sunan Kalijaga

 

Diskusi buku dalam rangka sosialisasi gagasan tentang Pendidikan Agama Berwawasan Pancasila atau Pendidikan Interreligius diselenggarakan dalam berbagai kesempatan. Di antaranya, diselenggarakan dalam kerjasama dengan Kantor Kementrian Agama Kota Yogyakarta dalam rangka Pembinaan Pegawai Berwawasan Pancasila. Kegiatan pembinaan ini diisi dengan bedah buku “Menjadi Manusia Indonesia yang Beradab melalui Pendidikan Agama Berwawasan Pancasila”. Narasumber dalam kegiatan ini adalah Listia, Dr. Tabita Kartika Kristiani dan Purwono Nugroho Adhi, pada 27 Agustus 2019 di aula kantor Kementerian Agama Kota Yogyakarta. Diskusi ini diikuti oleh 42 guru agama dari berbagai latar belakang, dari jenjang SD hingga SMA sederajat.

Dalam diskusi ini muncul pendapat dari peserta diskusi bahwa sekolah berbasis agama berhak mengelola pendidikan agama masing-masing, yang paling penting adalah kehati-hatian akan adanya pihak yang akan mengacaukan NKRI. Peserta lain menyampaikan bahwa sekolahnya dan beberapa sekolah lain juga mengadakan kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan toleransi di kalangan warga sekolah.


Dari pendapat-pendapat
tersebut tampak bahwa banyak guru agama di Yogyakarta memiliki kemauan untuk membangun toleransi dan kembali membumikan Pancasila melalui pendidikan agama. Untuk itu diperlukan ruang pembelajaran yang cukup sehingga para murid dapat mengalami perjumpaan dengan berbagai keragaman agama. Dengan upaya ini diharapkan toleransi bukan sekedar teori di kelas, tetapi merupakan pengalaman langsung dan nyata.

Namun dari diskusi ini terungkap juga beberapa kendala yang dialami oleh guru agama untuk mengembangkan toleransi di sekolah, yaitu masih ada guru-guru agama yang tidak mendapatkan ruangan khusus untuk agamanya. Ada juga guru yang mengampu pelajaran agama yang belum mendapatkan honor mengajar.



Pada 21 Oktober 2019 diselenggarakan diskusi dan seminar atas  kerjasama dengan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Sunan Kalijaga di Ruang Pertemuan lantai 1. Kerjasama ini  terselenggara dalam rangka kegiatan Gebyar Ilmiah FTIK UIN Sunan Kalijaga. Pada kesempatan ini bertindak sebagai keynote speech adalah Dr. Muqowim, M.Pd dengan narasumber Listia, Purwono Nugroho Adhi dan Sartana. Diskusi dan seminar ini dihadir oleh 60 peserta  terdiri atas mahasiswa S1, S2 dan S3 serta masyarakat umum.



Salah satu hal yang menarik dalam diskusi ini adalah dari pengalaman seorang guru agama Islam, yang berkesempatan untuk bertanya kepada biarawati, dan mendapat kesempatan bertanya termasuk pada hal-hal sederhana, seperti apakah baju seorang biarawati hanya satu, tentang apa enaknya tidak berkeluarga dan sebagainya. Menurut peserta tersebut, perjumpaan ini memberi pemahaman bahwa keyakinan itu membutuhkan proses.

Hal lain yang muncul adalah tentang kendala pelaksanaan Pendidikan Interreligius, khususnya terkait birokrasi dan kurikulum. Para narasumber menjelaskan bahwa buku Menjadi Manusia Indonesia yang beradab adalah buku suplemen, yang artinya tidak menggantikan buku pendidikan agama yang selama ini dibuat oleh pemerintah, namun memperkaya atau melengkapi yang kurang dari pendidikan agama yang ada, khususnya dalam menumbuhkembangkan toleransi di kalangan peserta didik. Pada kesempatan ini Sartana sebagai narasumber yang mengampu kelas khusus Pendidikan Interreligius, memaparkan praktik-praktik di kelasnya, yang memberi gambaran yang nyata bagi para peserta.
Pertanyaan peserta yang masih membutuhkan waktu untuk menemukan jawaban adalah tentang efektifitas dan out pun dari penyelenggaraan pendidikan interreligius ini.
(Khristina A.)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Baru Pendidikan Toleransi di Indonesia

  Pandemi telah mengubah cara kerja masyarakat seluruh dunia. Semua pihak harus dapat beradaptasi dengan situasi penuh resiko ini agar tetap sehat dan semua aktivitas kehidupan dapat dilanjutkan. Demikian halnya dalam berbagai aktivitas pendidikan, selain harus mencari strategi yang aman dan efektif, juga harus tetap kreatif sehingga proses belajar mengajar berlangsung tanpa beban dan berdampak mencerdaskan.     Adaptasi Perkumpulan Pappirus terus mengupayakan pengembangan pendidikan keagamaan yang menumbuhkan kultur belajar yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran menerima keragaman sebagai kodrat manusiawi dan mengajak para pendidik agar dapat membantu peserta didik mengembangkan sikap toleran serta mampu bekerjasama dengan orang yang berbeda latar belakang. Adaptasi dalam mengelola perkumpulan antara lain dengan migrasi kegiatan secara daring atau gabungan daring dan luring, sebagaimana dilakukan dalam Rapat Umum Anggota Perkumpulan ke-3, 25 April 2021 dan pertemuan Pengu...
Webinar Pappirus: Bagaimana Mengakhiri Ketidakjujuran Dalam Dunia Pendidikan Masa Kini? Apakah mungkin “mengakhiri ketidakjujuran di lembaga-lembaga pendidikan?”. Dalam bincang-bincang Pendidikan yang diselenggarakan Perkumpulan Pappirus 12 November 2024 lalu, Pak Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia dan Romo CB Mulyatno, PR, membahas tiga aspek yang memungkinkan seseorang dan komunitas bersikap tidak jujur. Pertama, adanya rasionalisasi atau cara berfikir yang menyediakan alasan bagi tindakan tidak jujur. Kedua, adanya kesempatan atau kondisi yang memungkinkan munculnya sikap tidak jujur. Ketiga, adanya tekanan yang membuat seseorang terpaksa bersikap tidak jujur. Seseorang yang memiliki otonomi dan memiliki kompas moral dalam memilih tindakan, akan senantiasa bertahan dengan gigih dan teguh pada nilai kebenaran dan bersikap jujur, tidak akan mencari-cari pembenaran atas sikap yang tidak jujur. Selalu ada kesadaran bahwa sikap tidak jujur adalah tindakan salah, berbahaya...

Selamat Datang Paus Fransiskus di Indonesia

Bersahaja dan rendah hati Itu selalu ada pada orang-orang yang menebar cinta, mengutamakan perdamaian dari pada kekuasaan, sesuatu yang oleh elit negara dan masyarakat di banyak tempat mulai ditinggalkan.. Agama, dengan segala kekurangan manusiawi pemeluknya, menggenggam tradisi kritik atas kelengahan dan kerakusan manusia, menawarkan pengingat bahwa hidup tidaklah selesai dengan kematian. Dampak dari laku akan diterima orang, mahluk lain dan generasi berikut, maka harus dipertanggungjawabkan. Nalar modernitas selalu enggan dengan nilai-nilai yang dianggap abstrak karena kengganan membuka diri atas keterbatasan rasio dan salah paham pada dir sendiri yang menganggap manusis adalah pusat kehidupan. Nalar yang mengantar pada kebuntuan oleh rasa terasing, persaingan yang menghadirkan kesenjangan, pengabaian aturan (yang hakikatnya pengabaian pada orang banyak), peperangan hingga penghancuran martabat dalam perdagangan orang dan perbudakan baru .. Tapi agama tetap bicara perdamaian, ...