Langsung ke konten utama

Penelitian tentang Tanggapan Guru dan Sekolah atas Model Pendidikan Interreligius

 


Pengurus Perkumpulan Pappirus menyelenggarakan penelitian untuk melakukan evaluasi konsep-konsep pendidikan interreligius dan evaluasi atas pelatihan dan lokakarya untuk guru-guru agama yang telah diselenggarakan. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui respons para guru dan hal apa yang mengubah dari kegiatan tersebut bagi mereka. Respons guru ini penting diketahui untuk melihat kemungkinan perubahan dalam cara membawakan pembelajaran agama. Untuk itu tim melakukan wawancara kepada guru-guru untuk menggali pendapat, tantangan-tantangan yang dihadapi para guru ketika hendak merealisasikan pengayaan pendidikan interreligius.

Penelitian telah mulai dijalankan pada Agustus 2019, diharapkan pada 2020 hasilnya telah dapat dibaca dan pengurus mendapat rekomendasi untuk perbaikan program maupun dalam memperbaiki model pendidikan interreligius. Dalam proses penggalian data, peneliti di lapangan mendapat dukungan fasilitas dari fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana. Namun penelitian tidak berjalan lancar, selain hambatan sumberdaya peneliti, juga pandemi yang kemudian makin mempersulit proses penyelesaian.

Setelah hasil wawancara terdokumentasi dan dipelajari oleh tim, Bidang Penelitian menyelenggarakan Focus Group Discussion untuk menggali lebih dalam atas data yang sudah diperoleh pada tahap wawancara. FGD ini memunculkan banyak informasi yang sangat berharga, terkait banyaknya tantangan yang dihadapi untuk merealisasikan model pendidikan interreligius.


Di antara tatangan dalam merealisasikan model pendidikan interreligius yang ditemukan melalui FGD ini adalah regulasi yang tidak memberi ruang bagi mata pelajaran tambahan. Banyak kepala sekolah dan sesama guru juga masih asing dengan wacana dalam model pendidikan ini, bahkan memiliki banyak kekhawatiran. Diketahui juga bahwa ternyata buku ‘Pendidikan Agama Berwawasan Pancasila’ yang memuat versi lebih matang dari Pendidikan Interreligius belum tersosialisasikan pada para guru, sehingga pemahaman tentang model pendidikan ini belum terinternalisasi.

Foto sebagian peserta FGD

Meski banyak tantangan, terutama tantangan birokrasi, tantangan terkait kompetensi guru dan keterbukaan sehingga umumnya peserta kegiatan Perkumpulan Pappirus tidak dapat mengaplikasikan konsep pendidikan interreligius, namun motivasi untuk menghadirkan pesan-pesan toleransi tetap kuat. Saat ini ketika ada perubahan arah kurikulum yang memberi ruang kreativitas lebih luas bagi para pendidik melalui program merdeka belajar, hal ini menjadi peluang yang baik bagi upaya merealisasikan model pendidikan interreligius atau model pendidikan agama berwawasan Pancasila sebagai pengayaan bagi pendidikan agama dan budi pekerti.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Baru Pendidikan Toleransi di Indonesia

  Pandemi telah mengubah cara kerja masyarakat seluruh dunia. Semua pihak harus dapat beradaptasi dengan situasi penuh resiko ini agar tetap sehat dan semua aktivitas kehidupan dapat dilanjutkan. Demikian halnya dalam berbagai aktivitas pendidikan, selain harus mencari strategi yang aman dan efektif, juga harus tetap kreatif sehingga proses belajar mengajar berlangsung tanpa beban dan berdampak mencerdaskan.     Adaptasi Perkumpulan Pappirus terus mengupayakan pengembangan pendidikan keagamaan yang menumbuhkan kultur belajar yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran menerima keragaman sebagai kodrat manusiawi dan mengajak para pendidik agar dapat membantu peserta didik mengembangkan sikap toleran serta mampu bekerjasama dengan orang yang berbeda latar belakang. Adaptasi dalam mengelola perkumpulan antara lain dengan migrasi kegiatan secara daring atau gabungan daring dan luring, sebagaimana dilakukan dalam Rapat Umum Anggota Perkumpulan ke-3, 25 April 2021 dan pertemuan Pengu...
Webinar Pappirus: Bagaimana Mengakhiri Ketidakjujuran Dalam Dunia Pendidikan Masa Kini? Apakah mungkin “mengakhiri ketidakjujuran di lembaga-lembaga pendidikan?”. Dalam bincang-bincang Pendidikan yang diselenggarakan Perkumpulan Pappirus 12 November 2024 lalu, Pak Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia dan Romo CB Mulyatno, PR, membahas tiga aspek yang memungkinkan seseorang dan komunitas bersikap tidak jujur. Pertama, adanya rasionalisasi atau cara berfikir yang menyediakan alasan bagi tindakan tidak jujur. Kedua, adanya kesempatan atau kondisi yang memungkinkan munculnya sikap tidak jujur. Ketiga, adanya tekanan yang membuat seseorang terpaksa bersikap tidak jujur. Seseorang yang memiliki otonomi dan memiliki kompas moral dalam memilih tindakan, akan senantiasa bertahan dengan gigih dan teguh pada nilai kebenaran dan bersikap jujur, tidak akan mencari-cari pembenaran atas sikap yang tidak jujur. Selalu ada kesadaran bahwa sikap tidak jujur adalah tindakan salah, berbahaya...

Selamat Datang Paus Fransiskus di Indonesia

Bersahaja dan rendah hati Itu selalu ada pada orang-orang yang menebar cinta, mengutamakan perdamaian dari pada kekuasaan, sesuatu yang oleh elit negara dan masyarakat di banyak tempat mulai ditinggalkan.. Agama, dengan segala kekurangan manusiawi pemeluknya, menggenggam tradisi kritik atas kelengahan dan kerakusan manusia, menawarkan pengingat bahwa hidup tidaklah selesai dengan kematian. Dampak dari laku akan diterima orang, mahluk lain dan generasi berikut, maka harus dipertanggungjawabkan. Nalar modernitas selalu enggan dengan nilai-nilai yang dianggap abstrak karena kengganan membuka diri atas keterbatasan rasio dan salah paham pada dir sendiri yang menganggap manusis adalah pusat kehidupan. Nalar yang mengantar pada kebuntuan oleh rasa terasing, persaingan yang menghadirkan kesenjangan, pengabaian aturan (yang hakikatnya pengabaian pada orang banyak), peperangan hingga penghancuran martabat dalam perdagangan orang dan perbudakan baru .. Tapi agama tetap bicara perdamaian, ...