Langsung ke konten utama

Klithih : Tantangan Pendidikan dalam Keluarga dan Sekolah

 

        Ngobrol Pendidikan Interreligius dan Indonesia dari Yogyakarta edisi 12 mengangkat Tema “Klithih; Tantangan Pendidikan Keluarga dan Sekolah”, pada 12 Januari 2022. Narasumber yang memantik perbincangan kali ini adalah adalah Martanti Endah Lestari dari Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak DIY dan Ari Ahmad Zulfahmi, Pegiat komunitas Pemuda di Imogiri Bantul. 

_________________________



Fenomena remaja tawuran, ada di berbagai daerah. Di Jogjakarta fenomena ini dikenalii secara unik, terutama dengan sebutan klithih. Sebutan klithih dalam bahasa Jawa pengertian awalnya mengacu pada perilaku anak remaja yang (sesuai usianya pertumbuhannya) biasanya banyak makan atau mudah lapar, adakalanya mereka mencari makan sampai keluar rumah malam-malam. Kemudian terjadi pergeseran makna, kata klithih tidak lagi bermakna mencari makanan, melainkan tindakan mencari musuh dan ‘menunjukkan sikap ingin menaklukan pihak yang dianggap musuh’. Klithih menggambarkan dinamika dan pergolakan masa remaja dalam hubungan dengan keluarga dan lingkungan sosialnya.

Biasanya pelaku klithih berada dalam kelompok yang memiliki ikatan emosional kuat, memiliki tradisi mendoktrin cara pandang tentang nilai-nilai kelompok pada para anggotanya, yang diantaranya bertolak belakang dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam keluarga dan masyarakat. Kelompok ini juga melatih anggotanya melakukan tindak kekerasan yang ‘mematikan hati nurani’. Padahal hati nurani yang mati sama dengan hilangnya martabat kemanusiaan remaja yang bersangkutan, sesuatu yang telah diupayakan untuk tumbuh dalam ruang-ruang pendidikan dalam keluarga, masyarakat maupun lembaga pendidikan. Dalam ruang-ruang pergaulan kelompok ini, nilai-nilai yang didoktrinkan misalnya; ‘tidak ada aturan kecuali aturan dalam kelompok mereka’, ‘siapa paling kuat dalam melakukan kekerasan dia yang paling berkuasa’,  ‘keberanian dan kehebatan diakui ketika tidak lagi memiliki hati nurani’. Di sini kenakalan yang biasa muncul dalam usia remaja sebagai sebentuk keusilan, tidak dapat lagi disebut kenakalan ketika sudah melewati batas kewajaran dalam menyikapi martabat manusia dan karena itu  mereka membutuhkan penangan untuk memulihkan kondisi kejiwaan yang telah mendapatkan indokrinasi kekerasan.

Ketika klithih bermakna tindak kekerasan, telah merusak rasa aman bagi kalangan remaja lain maupun para orang tua. Korban salah sasaran makin banyak dalam 10 tahun terakhir. Dalam perkembangannya, tampaknya persepsi tentang musuh mengalami perluasan, bukan hanya musuh tradisional yang menjadi sasaran pelaku klithih yaitu anak dari sekolah yang didefiniskan sebagai ‘sekolah musuh’, korban klithih bisa siapa pun. Mereka juga memiliki kebanggaan ketika kasus-kasusnya diangkat dalam pemberitaan, meski ketika ditangkap polisi, sebagai anak-anak banyak juga diantara mereka yang akhirnya yang menangis. Perilaku klithih yang berulang ini menjadi semacam teror yang merusak rasa masyarakat.

Warga Yogyakarta pada umumnya memahami tindakan  klithih sebagai masalah yang serius. Namun ada pihak-pihak yang memandang masalah ini secara sepotong-sepotong dan menempatkannya semata sebagai persoalan remaja yang sedang mencari jati diri dan kurang mendapat pengawasan. Artinya seolah-olah persoalannya hanya ada pada remaja, sehingga muncul ungkapan-ungkapan di tengah masyarakat yang sangat emosional, misalnya, “Pateni wae sedurunge mateni”. Namun sesungguhnya banyak pihak menyadari bahwa seorang anak tumbuh menjadi remaja yang gelisah dan berperilaku kriminal tentu tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada proses sebelumnya dalam tumbuh kembang anak, ada lingkungan yang menyebabkan seorang remaja mengekpsresikan situasi batin mereka dengan cara demikian.

Dalam perspektif pendidikan, klithih adalah salah satu bentuk ekpersi diri sebagai bagian dari proses pembentukan kepribadian yang bersangkutan. Sangat besar kemungkinan, bibit masalah berangkat dari tumbuhkembang dalam pengasuhan di rumah dan lingkungan terdekat. Idealnya, rumah dan keluarga adalah ruang penuh kehangatan bagi semua warganya, terutama bagi anak dan remaja --yang membutuhkan rasa aman secara fisik, psikologis maupun sosial. Keluarga ideal menyediakan suasana yang menumbuhkan perasaan disayang, perasaan dihargai, merasa diri bernilai sehingga mampu mencintai diri dan orang lain. Kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung di rumah ini pada dasarnya menjadi momen pemekaran jati diri seorang manusia. Sayangnya tidak semua rumah dan keluarga merealisasikan fungsi ini. Dalam perubahan sosial-budaya yang sangat cepat saat ini, banyak rumah dan keluarga yang tidak lagi menjadi tempat mendamaikan bagi warganya. Banyak rumah dan keluarga yang kehilangan kehangatan, karena hanya berfungsi seperti terminal atau tempat pulang dan bertolak dari dan ke tempak aktifitas lain sehari-hari. 

Anak-anak yang tumbuh dalam rumah yang hangat penuh kasih sayang, akan berkembang dengan dengan ketenangan, berbeda dengan anak yang tumbuh dalam rumah yang berfungsi terminal. Perbedaan itu akan sangat kentara ketika mereka tumbuh remaja, saat memasuki kedewasaan biologis, dengan melimpahnya hormon-hormon yang mudah membuat jiwa mereka bergejolak, namun dari sisi psikologis, mereka belum mampu mengelola gejolaknya. Ketika kebutuhan psikologis berupa perasaan diri dihargai, dicintai, aman dan bermakna sejak masa kanak-kanak tidak terpenuhi, kekecewaan dan kemarahan  pada lingkungan mudah muncul. Kebutuhan tumbuh kembang yang tidak ditemukan di rumah, mereka cari di luar rumah.

Di luar rumah ada banyak remaja yang haus pemenuhan kebutuhan psikologisnya. Remaja seperti ini lebih mudah ditarik dalam lingkungan kelompok-kelompok pelaku klithih yang menawarkan model pertemanan yang melampiaskan kegundahan. Remaja yang tidak mengalami kehausan psikologis pun kadang menjadi sasaran perundungan, yang dilakukan untuk menekan korban agar masuk dalam kelompok mereka. Namun ketika korban perundungan ini mendapatkan dukungan dari keluarga, biasanya mereka tidak membutuhkan kelompok seperti ini.

Lembaga pendidikan sangat diharapkan perannya untuk menutup kekurangan-kekurangan dalam pendidikan dalam keluarga. Namun tidak jarang, lembaga-lembaga pendidikan dalam proses pembelajaran menggunakan pendekatan ‘memaksa’, meski mungkin dengan cara yang halus. Suasana persaingan dengan adanya stigma anak bodoh dan malas, makin membuat sekolah menjadi ruang yang tidak menyenangkan bagi anak-anak yang membawa kegudahan dari rumah. Tidak adanya ruang mengungkapkan pendapat atau minimnya keleluasaan dalam memilih cara belajar sering membuat pembelajaran menjadi aktifitas yang membebani serta memperburuk situasi psikologisnya ketika tidak ada dukungan kasih sayang dari rumah.

Perilaku klithih seperti seperi diurai diatas, menyangkut proses pertumbuhan jatidiri manusia muda, pola hubungan-hubungan, cara berkomunikasi dan nilai-nilai yang menopang norma-norma kehidupan bersama. Oleh karena itu, masalah ini perlu dilihat secara lebih  menyeluruh sebagai bagian dari masalah kebudayaan dan pendidikan. Penanganan masalah membutuhkan sudut pandang dan pendekatan yang penuh kesadaran yang memanusiakan manusia, membutuhkan kolaborasi keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan dan pemerintah.

Perilaku klithih yang selama ini dipandang sebagai ‘kenakalan (remaja) jalanan’, dipandang semata masalah remaja bersangkutan saja. Penangan yang dilakukan juga dengan pendekatan keamanan, dan himbauan ‘pengawasan’ oleh orang tua, sekolah dan lingkungan masyarakat. Ternyata dengan cara pandang dan pendekatan tersebut, perilaku klithih terus berulang dengan korban yang makin banyak dan acak dari  berbagai kalangan.

            Pencegahan dan penangan perlu dilakukan dalam keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat dan oleh negara. Empat pemangku kepentingan ini perlu saling bersinergi saling mendukung dan menguatkan.

            Dalam keluarga, hal-hal yang perlu dilakukan bahkan perlu dilakukan sebelum pasangan penikah. Calon Pengantin perlu memaksimalkan bimbingan pra-nikah agar pasangan pengantin kelak menjadi orangtua yang lebih responsif dengan perubahan sosial dan sanggup menghadapi tantangan perubahan. Untuk ini para calon pengantin harus mendapatkan pengetahuan tentang hal-hal yang perlu dipenuhi dalam tumbuh kembang anak. Para calon pengantin juga perlu menumbuhkan kesadaran yang kuat tentang tanggug jawab mereka dalam mendidik anak dalam keluarga. Selain itu, para orang tua perlu memperkuat kesadaran dan pengetahuan tentang pentingnya menjadi orangtua yang bersahabat bagi keluarga-keluarga yang memiliki anak usia remaja.

            Perubahan juga dibutuhkan dalam lembaga pendidikan untuk lebih menemani remaja khususnya yang mengalami krisis dalam tumbuh kembangnya. Pertama, satuan pendidikan harus memperhatikan keunikan setiap peserta didik dan mengakui adanya  kecerdasan majemuk  yang setara pada peserta didik. Kedua, setiap satuan pendidikan perlu memberi ruang keragaman cara belajar dan murah hati dalam memberi apresiasi   dukungan bagi setiap usaha yang dilakukan peserta didik, sehingga menumbuhan rasa percaya diri dan kemampuan bertanggung jawab. Ketiga, setiap satuan pendidikan mengembangkan persahabatan, menumbuhkan kebiasaan memberi apresiasi dan perhatian pada sesama warga belajar. Keempat, setiap satuan pendidikan melakukan pencegahan stigmatisasi anak-anak yang pernah berhadapan dengan hukum. Kelima dalam tiap satuan pendidikan perlu meminimalisir progam-program yang memberi dampak persaingan tidak sehat pada anak, mengganti dengan program-program yang meningkatkan kesadaran kesetaraan antarsiswa, ketrampilan berkomunikasi dan bekerjasama atau gotong royong.  Keenam, setiap satuan pendidikan memperkuat hubungan kerjasama dengan keluarga-keluarga warga belajar maupun masyarakat luas. Secara berkala membuat proyek-proyek sosial yang dapat menghubungkan kegiatan pembelajaran  dengan kehidupan bermasyarakat.

            Dalam masyarakat juga perlu melakuan antisipasi dan pencegahan perilaku klithih, misalnya dengan beberapa hal ; Pertama, mengaktifkan kegiatan di komunitas-komunitas pemuda di lingkungan-lingkungan terdekat para remaja untuk menumbuhkan keratifitas, rasa percaya diri dan kepedulian sosial. Kedua, melibatkan mahasiswa yang menyediakan diri menjadi kakak asuh atau role model untuk berbagi pengalaman melewati masa-masa kritis di usia remaja serta menjembatani komunikasi ketika ada remaja yang tidak mendapatkan dukungan psikologis dan ruang ekspresi di rumah.  Ketiga bekerjasama dengan pemerintah atau lembaga-lembaga sosial keagamaan mengadakan paguyuban orang dewasa yang bersedia memberikan perhatian dan dukungan moral bagi anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dari keluarganya, membantu memperbaiki hubungan yang tidak harmonis dengan anak atau remaja dan memberikan bimbingan parenting maupun pemulihan hak-hak pendidikan bagi anak-anak yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. Keempat, menyediakan ruang-ruang aman bagi remaja yang pernah mengalami perundungan atau pernah berhadapan dengan hukum untuk ditemani agar mampu menemukan jatidirinya atau dapat belajar dari kesalahan yang pernah dilakukan.

Beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah antara lain ; pertama, menyediakan ruang publik bagi anak-anak untuk bermain bersama di alam bebas. Kedua, menyediakan klub-klub gratis seperti tinju atau balap, sanggar-sanggar seni, tempat-tempat latihan bela diri dan sarana lain yang dapat memberi ruang ekspresi anak-anak dan remaja yang memiliki karakter berpetualang atau senang menghadapi tantangan fisik, serta  lapangan-lapangan pertandingan. Ketiga, mengubah pandangan dan pendekatan dalam penanganan anak-anak dan remaja yang berhadapan dengan hukum dengan perspektif pengasuhan. Keempat, bersama dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan membuat jejering untuk memberikan dukungan bagi para remaja yang rentan mengalami krisis. Kelima, perlu memberi berbagai bentuk apresisasi bagi remaja-remaja yang berhasil keluar dari kebiasaan buruk dan mampu mengajak sesama remaja pada kehidupan yang lebih sehat, kreatif dan berguna bagi diri maupun orang lain. Keenam, Pemerintah harus menyediakan konsultan dan terapis yang disebar pada komunitas-komunitas dalam masyarakat untuk membantu pemulihan bagi para remaja yang terpapar ajaran kekerasan.

Dinas Pedidikan memberikan arahan dan pelatihan bagi tiap satuan pendidikan agar dapat merealisasikan sekolah yang membahagiakan sebagai mana yang dibutuhkan.

            Hasil perbincangan dalam Ngopi Yo ini selanjutnya akan akan dirumuska menjadi rekomendasi kepada pemerintah dari masyarakat sipil dan komunitas pendidikan. (Edwin & Listia)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Baru Pendidikan Toleransi di Indonesia

  Pandemi telah mengubah cara kerja masyarakat seluruh dunia. Semua pihak harus dapat beradaptasi dengan situasi penuh resiko ini agar tetap sehat dan semua aktivitas kehidupan dapat dilanjutkan. Demikian halnya dalam berbagai aktivitas pendidikan, selain harus mencari strategi yang aman dan efektif, juga harus tetap kreatif sehingga proses belajar mengajar berlangsung tanpa beban dan berdampak mencerdaskan.     Adaptasi Perkumpulan Pappirus terus mengupayakan pengembangan pendidikan keagamaan yang menumbuhkan kultur belajar yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran menerima keragaman sebagai kodrat manusiawi dan mengajak para pendidik agar dapat membantu peserta didik mengembangkan sikap toleran serta mampu bekerjasama dengan orang yang berbeda latar belakang. Adaptasi dalam mengelola perkumpulan antara lain dengan migrasi kegiatan secara daring atau gabungan daring dan luring, sebagaimana dilakukan dalam Rapat Umum Anggota Perkumpulan ke-3, 25 April 2021 dan pertemuan Pengurus Periode ba

PENTINGNYA PERUBAHAN PARADIGMA UNTUK MERAWAT RUH PENDIDIKAN

    Catatan Moderator Seri 01 Program ‘NGOPII Yoo’ atau ‘Ngobrol Pendidikan Interreligius-Indoneisa dari Yogyakarta’, adalah perbincangan untuk masyarakat umum secara daring, yang diselenggarakan atas kerjasama Perkumpulan Pappirus, Rumah Kearifan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Sanggar Anak Alam, setiap hari Rabu malam. Seri pertama Ngopii yoo pada Rabu, 11 Agustus 2021 mengangkat tema ‘Pendidikan yang Memerdekakan’. Banyak pemikiran berharga dalam perbincangan ini. Untuk itu moderator akan menyarikan gagasan-gagasan menarik di dalamnya untuk diunggah di laman pappirusindonesia.org                    Kehidupan bermasyarakat mengalami perubahan sangat cepat, dampak dari perkembangan teknoliogi digital pada berbagai proses kehidupanbaik dalam pengorganisasian, komunikasi maupun proses produksi barang dan jasa. Bukan hanya pada level permukaan, perubahan juga terjadi dalam penghayatan nilai-nilai. Menyambut ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke 76, sebagai bentuk ra

Webinar Moderasi Beragama

  Menindaklanjuti MoU kejasama Perkumpulan Pappirus dengan Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Indonesia tahun 2019, pada 11 Desember 2020 diselenggarakan webinar nasional dengan tema ‘Realiasasi Moderasi Beragama di Ranah Pendidikan Mene n gah dan Tinggi abad 21’ . Seminar diikuti oleh para mahasiswa, para pendidik, pegiat perdamai an dan masyarakat umum, dengan narasumber Supriyanto Abdi , dosen Progra m Studi PAI UII, Alexander Hendra Dwi Asmara, Ph. D, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Agama Katolik USD,  Tabita Kartika Christiani, Ph.D dan Anis Farikhatin, M.Pd pendidik dan pegiat Perkumpulan Pappirus dengan moderator Herlina Ratu Kenya, MAPT, pendeta gereja Kristen Sumba Timur. Dalam sambutan mewakili Perkumpulan Pappirus, Listia menyampaikan pentingnya terus melakukan pembelajara n dalam mengelola keragaman. Pendidikan agama perlu merespons perubahan dan situasi kemanusiaan yang ada, khusu s nya bagaimana menyelenggarakan pen