Langsung ke konten utama

Spiritualitas Ekologis dan Perubahan Paradigma Pendidikan Modernis

 

Pengantar

Saat ini dunia menghadapi banyak masalah ekologis yang serius. Proses pemanasan global yang ditimbulkan oleh melimpahnya unsur karbon-dioksida di udara, yang menyebabkan panas dari luar atmosfer terperangkap, sehingga suhu permukaan bumi makin meningkat. Permukaan bumi makin panas, tidak hanya berdampak pada melelehnya lapisan es di kutub atau di daerah-daerah tinggi di belahan bumi lain yang menaikkan permukaan air laut atau membunuh flora dan fauna, namun yang paling merusak terutama adalah perubahan iklim yang menyebabkan banyak bencana di berbagai belajan dunia.

Mengapa umat manusia melakukan aktifitas sulit berhenti yang menghasilkan emisi karbon dioksida padahal telah mengetahui dampak luasnya?  Semua aktifitas ini terkait pembakaran bahan bakar fosil, baik untuk keperluan pabrik-pabrik, kendaraan bermotor, kebakaran hutan, pembangkit listrik dan berbagai aktifitas lain. Mengapa masyarakat tidak mengubah perilaku? Sikap hidup terkait dengan cara berfikir tentang manusia dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar. Cara pikir bahwa seluruh isi bumi hanya diberuntukkan bagi manusia, atau memandang semua yang ada di bumi hanya sebagai obyek bagi pemenuhan kebutuhan manusia, mendorong sikap yang semena-mena pada ekosistem bumi. Menghadapi situasi ini, bagaimana dunia pendidikan mendorong tumbuhnya semangat hidup yang didasari oleh kesadaran tentang keterhubungan manusia dengan lingkungan alamnya?

Ngopi Yo seri ke-14 mengangkat tema “Spiritualitas Ekologis dan Perubahan Paradigma Pendidikan Modernis”, dengan narasumber pemantik Prof. Putu Suryadharma, Pengajar Universitas Hindu Denpasar, pegiat lingkungan hidup dan Ibu Dyah Retno Hapsari, S.Pd, pengajar SMPN 1 Yogyakarta.

 

________________________________________________________________

 

 Kesadaran tentang hubungan erat antara manusia dengan seluruh ciptaan di bumi mendapat tempat yang sangat kuat dalam ajaran-ajaran tradisional di banyak wilayah di nusantara dan dunia. Ajaran tradisional memandang dunia dengan menempatkan manusia sebagai bagian yang utuh dari keseluruhan ciptaan. Prof Suryadharma mengungkapkan, bahwa manusia dan alam semesta saling terhubung. Mekanisme yang terjadi dalam alam semesta, tergambar pula dalam diri-tubuh manusia sebagai mikrokosmos yang terhubung dengan makrokosmos.

Pergerakan benda-benda langit berpengaruh pada kondisi alam dan kehidupan di bumi. Contoh yang paling mudah diamati adalah saat bulan purnama, atau posisi bulan terdekat dengan suatu wilayah di bumi, yang  menyebabkan kandungan air laut, air tanah dan air yang ada dalam pepohon terangkat oleh pengaruh gravitasi bulan. Atas kondisi ini kearifan tradisional menganjurkan larangan penebangan pohon pada saat masa bulan purnama untuk stabilitas air di bumi. Sayangnya kerakusan manusia mengacaukan pranata alam raya ini. Manusia saat ini tidak dapat membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Padahal bila yang dituruti adalah keinginan, maka tidak akan pernah ada habisnya. Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, namun tidak cukup untuk yang rakus.

Kesalingterhubungan pergerakan alam dalam skala makro ini tidak disejalaskan oleh ilmu pengetahuan modern. Ilmu pengetahuan modern mendasarkan pengathuan pada apa yang dapat ditanggap indra, oleh karena itu bersifat parsial. Salam alam pikir atau kearifan tradisional, ilmu  pengetahuan dikembangkan dengan aktifitas yang dalam bahasa jawa disebut ‘niteni’, mengamati dan mencermati melampaui apa yang tertangkap indera. Oleh karena itu menurut Prof. Suryadharma, dengan memahami ciptaan, dapat menjadi passwor bagi memhami Sang Pencipta. Di sinilah letak spiritualitas itu, dimana akal-budi pekerti saling bertautan.

Kearifan tentang kesalingterhubungan berbagai pergerakan alam makro-mikro ini, termasuk menjadi pertimbangan penting dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan, di berbagai ranah kehidupan, bukan hanya pertanian dan perikanan. Pada masa lalu, pengangkatan pegawai negeri masih menggunakan perhitungan kalender lunar yaitu pada bulan pertama yang bertepatan dengan bulan Maret dalam kalender Masehi, demikian menurut pengalaman Prof Suryadharma. Namun penggunaan kalender matahari di seluruh dunia, termasuk menjadi salah satu faktor yang mengubah cara pikir dan menghilangkan kesadaran tentang kesalingterhubungan dalam berbagai gerak makro-mikro, atau kesadaran keterhubungan manusia dengan alam sekitar. Saat ini jarang sekali orang menyadari bahwa pepohonan (sebagai mahluk penghasil oksigen) pada dasarnya bagian dari paru-paru kita, misalnya.

            Dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini sedang mengalami pergeseran paradigma atau cara berfikir tentang pencapaian pendidikan. Sebelumnya cara pikir untuk mencapai kemajuan adalah dengan meningkatkan daya saing, tercapainya cita-cita berupa peran-peran yang dapat menghasilkan kedudukan dan kemakmuran, misalnya, sehingga aspek formal dan pengadministrasian proses sangat dikedepankan. Cara berfikir baru yang tengah dikembangkan diantaranya bahwa proses pendidikan dilakukan untuk memampukan peserta didik dalam bekerjasama dengan orang lain, mampu belajar dari konteks hidup dan belajar menjawab persoalan sesuai tumbuh kembang peserta didik dalam relasianya dengan lingkungan alam.

Lebih jauh Prof. Suryadharma menegaskan, pendidikan seharusnya mengembangkan human potensial, yang mana ini hanya dapat terjadi bila dilakukan secara merdekakan pendidik maupun peserta didik. Dengan kemerdekaan maka seluruh potensi manusia akan berkembang, manusia menemukan dirinya. Dalam proses pendidikan, guru seyogyanya mencukupkan diri menjadi semacam google map yang memberi peta jalan, bukan memberi informasi, apalagi jaman sekarang informasi sudah sangat melimpah. Peserta didik melaporkan apa yang dikerjakan dalam proses pengembangan ilmu pengetahuannya, dengan demikian pendidikan bukan proses pendudukan. Namun sering terjadi proses pendidikan dilakukan dengan pemaksaan atau menundukkan peserta didik, sehingga praktiknya adalah pendudukan. Dalam pendudukan manusia hanya dipandang sebagai human resourse, sumberdaya manusia, menjadikan manusia hanya sebagai alat produksi.

Bu Retno, di akhir diskusi menegaskan pendidik perlu mengembangkan mentalitas yang tidak terjajah,  dengan bersedia mengubah cara pikir atau mengubah paradigma pendidikan yang digunakan. Para pendidik perlu memiliki keberanian untuk membuat kurikulum sendiri dan mengembangkan pendidikan sesuai kebutuhan peserta didik.  Pendidik dapat mengajak anak-anak untuk berkolaborasi dalam suasana saling menghargai. Dengan demikian proses pendidikan dapat mengembangkan kesadaran tentang siapa kita sebagai manusia dan bagaimana hubungan manusia dengan alam semesta, bahwa tumbuhan dan semua yang ada pada alam adalah bagian dari hidup manusia. Diskusi seperti ini diharapkan dapat memberi inspirasi para pendidik untuk mengubah paradigma, mengubah pola pikir, agar bersama anak-anak menemukan jati diri. (LT)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Krisis Empati dan Perundungan pada Anak di Sekolah

  Pengantar Peristiwa anak melakukan burunuh diri karena mengalami perundungan terjadi kembali di Badung Bali ( 4 September 2025,Detik.com). Sebelumnya serentetan peristiwa perundungan terjadi di berbagai tempat, tidak hanya meninggalkan luka batin bahkan kekerasan fisik yang ditimbulkan menyebabkan kematian. Perundungan diakui sebagai salah satu dosa pendiddikan selain selain intoleransi dan kekerasan seksual. Menanggapi hal ini Kemdikbudristek mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 46 Tahun 2023 adalah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Namun tindak kekerasan di satuan pendidikan hingga kini masih terjadi. Rustiadi dalam artikel di bawah ini membahas akar masalah berbagai bentuk kekerasan, yaitu krisis empati. Empati dan Pro-Eksistensi Setiap individu memiliki keunikan masing-masing yang membedakannya dari orang lain. Keberagaman ini mencakup aspek ...
Webinar Pappirus: Bagaimana Mengakhiri Ketidakjujuran Dalam Dunia Pendidikan Masa Kini? Apakah mungkin “mengakhiri ketidakjujuran di lembaga-lembaga pendidikan?”. Dalam bincang-bincang Pendidikan yang diselenggarakan Perkumpulan Pappirus 12 November 2024 lalu, Pak Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia dan Romo CB Mulyatno, PR, membahas tiga aspek yang memungkinkan seseorang dan komunitas bersikap tidak jujur. Pertama, adanya rasionalisasi atau cara berfikir yang menyediakan alasan bagi tindakan tidak jujur. Kedua, adanya kesempatan atau kondisi yang memungkinkan munculnya sikap tidak jujur. Ketiga, adanya tekanan yang membuat seseorang terpaksa bersikap tidak jujur. Seseorang yang memiliki otonomi dan memiliki kompas moral dalam memilih tindakan, akan senantiasa bertahan dengan gigih dan teguh pada nilai kebenaran dan bersikap jujur, tidak akan mencari-cari pembenaran atas sikap yang tidak jujur. Selalu ada kesadaran bahwa sikap tidak jujur adalah tindakan salah, berbahaya...

Tantangan Baru Pendidikan Toleransi di Indonesia

  Pandemi telah mengubah cara kerja masyarakat seluruh dunia. Semua pihak harus dapat beradaptasi dengan situasi penuh resiko ini agar tetap sehat dan semua aktivitas kehidupan dapat dilanjutkan. Demikian halnya dalam berbagai aktivitas pendidikan, selain harus mencari strategi yang aman dan efektif, juga harus tetap kreatif sehingga proses belajar mengajar berlangsung tanpa beban dan berdampak mencerdaskan.     Adaptasi Perkumpulan Pappirus terus mengupayakan pengembangan pendidikan keagamaan yang menumbuhkan kultur belajar yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran menerima keragaman sebagai kodrat manusiawi dan mengajak para pendidik agar dapat membantu peserta didik mengembangkan sikap toleran serta mampu bekerjasama dengan orang yang berbeda latar belakang. Adaptasi dalam mengelola perkumpulan antara lain dengan migrasi kegiatan secara daring atau gabungan daring dan luring, sebagaimana dilakukan dalam Rapat Umum Anggota Perkumpulan ke-3, 25 April 2021 dan pertemuan Pengu...